Jumat, 05 Agustus 2016

Bunga Aruna (Chapter I)



Pengangkatan Malaikat Maut


Mayat-mayat bergelimpangan tak jelas berbentuk. Burung bangkai datang dan pergi menyantap setiap bagian tubuh yang sudah tak bernyawa, seperti ada pesta yang menyajikan berbagai hidangan, daging empuk, hangat disertai minuman darah segar merah dan kental. Bau bangkai, bau anyir menyelimuti udara Godemar. Tak terdengar lagi jerit tangis kesakitan, tak terdengar lagi rintihan mohon ampun, suara-suara itu sudah meninggalkan tubuh berikut nyawa yang selama ini bersama.

Meski terseok-seok, Laksmiwati tetap melangkah. Rambutnya yang panjang, lusuh oleh cipratan darah, ada yang sudah mengering dan ada yang masih basah begitupun pakaiannya. Luka tusuk dan sayatan pedang ditubuhnya tak melemahkan niatnya, ia terus melangkah. Wajah datar, pandangan kosong seakan tak menghiraukan suasana disekitarnya. Dua pedang yang ia pegang dikedua tangannya ia lepas satu, menandakan orang terakhir yang akan ia lawan bukan orang biasa. Ia sadar tenaga sudah terkuras habis, kelincahan sudah berkurang dan konsentrasi membuyar. Sedikit-sedikit matanya terpejam menahan sakit yang mengoyak tubuhnya. Ia terus melangkah.

Ia tapaki satu persatu anak tangga menuju singgasana kebesaran Raja Godemar, meski terdapat ratusan anak tangga yang harus ia lewati, ia terus melangkah menuju dendam terbesarnya. 

Dari kejauhan orang yang paling ia cari, orang yang selalu menjadi mimpi buruknya terlihat. Ia tarik nafas sedalam-dalamnya seakan mengumpulkan segala kekuatan, segala dendam, segala amarah, segala jeritan yang ia alami selama ini. Matanya mengecil terfokus seakan butuh kepastian bahwa orang itu adalah Jakunti, raja Godemar. Semakin lama, semakin dekat dan cukup baginya untuk melampiaskan dendam yang sudah mendarah daging.  Kemudian.

“Jadi kaulah orangnya”. Jakunti geleng-geleng kepala, merasa salut. Ia tak pernah percaya bahwa orang yang mengobrak-abrik kekuasannya, orang yang membinasakan semua penduduknya, prajuritnya, ksatrianya dan semua generasi bangsanya hanya seorang wanita. Ternyata kabar burung yang selama ini ia dengar benar adanya. Laksmiwati diam tak merespon perkataan Jakunti, pandangannya terfokus pada Jakunti, kemudian ia kencangkan cengkeraman tangannya pada gagang pedang, ia ubah posisi siap menyerang. Tak lama kemudian, Jakunti meraih palu raksasa dari punggungnya kemudian mengambil posisi sama. Mereka berdua siap saling serang.

Pertarungan pun dimulai, denting pedang yang beradu dengan palu bergema, sedikit-sedikit percikan api keluar. Masing-masing saling mempertahankan posisi menyerang, tak ada yang mundur, tak ada yang berpaling. Ayuhan palu Jakunti sesekali meleset dan meremukkan tiang istana disekitar tempat mereka bertarung, sedangkan sisa kelincahan Laksmiwati masih bisa menghindar setiap serangan yang diberikan Jakunti, begitupun sebaliknya, meski berbadan besar Jakunti sanggup meladeni setiap serangan yang diberikan Laksmiwati.  

Namun apa daya bagi Laksmiwati, sisa kekuatannya berkurang, perih yang muncul dari luka di tubuhnya kini mengurangi gerak dan konsentrasinya. Tiba-tiba hantaman palu Jakunti menghantam tubuhnya, ia terpental membentur tembok hingga retak, tubuhnya terkapar. Tak terdengar teriak kesakitan, bahkan rintihan pun sama sekali tak terdengar. Lakmiwati terlalu dingin untuk menunjukkan kelemahannya. Sambil menahan sakit ia paksakan untuk bangkit. Jakunti berjalan tenang menghampiri Laksmiwati, ia sama sekali tidak terlihat lelah ataupun kewalahan. Dengan segenap sisa kekuatan Laksmiwati bangkit sebelum Jakunti mendekat. Ia bersiap lagi menerima serangan yang akan diberikan Jakunti.

Palu Jakunti kembali terayun, ia serang Laksmiwati secara bertubi-tubi tanpa ampun.  Laksmiwati terus mempertahankan posisinya, darah pun mengucur deras dari luka di tubuhnya, luka yang ia dapat dari serangan-serangan ksatria sebelum ia membantai mereka semua. Melihat kondisi tersebut Jakunti semakin membabi buta menyerang Lasmiwati, ia yakin bahwa kekuatan pada diri Laksmiwati telah hilang, kekuatan sihir yang terkenal dimiliki bangsa Karuyum telah hilang pada dirinya, bersamaan dengan pembantaian seluruh penduduk Karuyum. Mereka semua sudah binasa kecuali satu.

Kembali, Laksmiwati terhantam deraan Jakunti. Tubuhnya terpental lebih jauh, meski tak membentur apapun, namun cukup untuk meremukkan tubuhnya. Darahpun mengalir dari kepala Laksmiwati, tubuhnya terkapar tak bergerak sama sekali. Dari kejauhan Jakunti terlihat puas melihat keadaan Laksmiwati yang sudah tak bergerak. 
“Ha, ha, ha.....” Jakunti tertawa puas. Ia berjalan mendekati tubuh yang sudah tak berdaya itu.
Tiba-tiba terdengar bisikan yang mengema di telinga Laksmiwati. Sebuah suara yang sudah lama ia lupakan, suara yang dahulu pernah dekat, pernah menemani hari-hari dan mimpinya.
“Bolehkah aku menamai bunga ini?”.
“Ya, tentu”.
“Ku namai Bunga Aruna”.
Jakunti terus mendekat, ia genggam erat gagang palu. Kali ini ia akan menghantam kepala Laksmiwati sampai hancur, sampai isi otaknya keluar, bola matanya menggelinding di lantai, dan cipratan darah membasahi wajahnya. Kemudian bisikan itu terdengar lagi.
“Bolehkah aku menamai bunga ini?”.
“Ya, tentu”.
“Ku namai Bunga Aruna”.
Antara hidup dan mati, tubuh Laksmiwati tak bergerak sedikitpun. Jiwanya terombang-ambing pada dimensi yang berbeda. Ia tidak hidup dan tidak juga mati. Kemudian terlihat, Jakunti sudah sangat dekat, ia angkat palunya setinggi mungkin, kali ini ia tidak akan meleset. Target utama sudah terkapar tak berdaya, tak mungkin menghindar apalagi melawan balik. 
“Bolehkah aku menamai bunga ini?”.
“Ya, tentu”.
“Ku namai Bunga Aruna”.
“Bolehkah aku menamai bunga ini?”.
“Ya, tentu”.
“Ku namai Bunga Aruna”.
“Bolehkah aku menamai bunga ini?”.
“Ya, tentu”.
“Ku namai Bunga Aruna”.
Terus berulang-ulang. Suara samar itu semakin lama semakin nyata dan semakin santer terdengar, gemanya sampai terasa merusak pendengarannya. Ia pun tersadar. Matanya berkedip, tubuhnya mulai bergerak. Entah kekuatan apa yang ia dapat setelah mendengar bisikan tersebut. Tapi,  sayang dihadapannya Jakunti sudah mengangkat palu dengan kedua tangannya, hanya menunggu waktu, menerima hantaman benda keras dengan kepala yang baru sadar.  Tiba-tiba, Laksmiwati bangun. Jakunti kaget matanya membelalak tak percaya, ia tidak mengira bahwa Laksmiwati bisa bangkit. Ayuhan palunya tinggal beberapa inci lagi mengenai kepala Lakmiwati. Kemudian, hanya sedikit menggerakkan tubuhnya ke samping, Laksmiwati terhindar dari hantaman palu tersebut. Jakunti yang tidak mempersiapkan akan ada serang balik pun kehilangan akal. Laksmiwati melihat ada sedikit kesempatan, ini mungkin menjadi kesempatan terbaik dan terakhir yang ia miliki untuk melumpuhkan Jakunti. Jika ia tidak memanfaatkan dengan baik, ia pasti yang akan mati. Karena tidak sedikitpun pedang yang ia gunakan melukai bahkan melumpuhkan Jakunti.

Laksmiwati memanfaatkan kuda-kuda Jakunti untuk meloncat, kemudian pandangan Jakunti mengikuti pergerakkan Laksmiwati yang seolah-olah terbang, ia lihat mata pedang Laksmiwati mengarah ke bawah siap menusuk kepalanya. Belum sempat Jakunti mengelak, pedang itu sudah menghunus kepalanya menembus sampai kerongkongan. Seketika darah pun muncrat seperti tabung air yang bocor, tubuhnya lunglai tak terkontrol. Jiwanya tak lagi bisa mengatur tubuhnya untuk berbuat apapun. Laksmiwati masih terus menekan pedangnya, ia ingin menusuk sedalam-dalamnya, sekuat-kuatnya karena manusia seperti Jakunti tidak bisa mati dengan cara biasa. Kemudian tubuh besar bagai raksasa itupun jatuh terkapar, Laksmiwati sudah melompat lebih dulu. Dengan terseok-seok, Laksmiwati menghampiri tubuh Jakunti, ia cabut kembali pedang yang menancap di kepala Jakunti, tak lama kemudian ia tebas kepala Jakunti hingga terpisah dari tubuhnya. Sambil teriak puas, ia lempar kepala itu sampai keluar istana melewati tangga-tangga yang tadi ia lewati, menyatu bersama bangkai-bangkai tubuh bangsa Godemar lainnya.

Habis sudah dendam yang paling membara, dendam yang selalu menjadi mimpi buruk, dendam yang paling banyak memakan nyawa. Laksmiwati jatuh, dengan posisi setengah sujud, ia bayar janjinya. Janji yang sudah lama ia buat, janji yang pernah terucap ketika kematian hampir menjemputnya.

“Dendamku tuntas, aku siap mati”.  Tiba-tiba.

Langit berubah menjadi hitam pekat, gemuruh menggelegar di sana-sini, riuh angin menyapu segala benda, ratusan kilat menyambar apa pun yang tinggi menjulang ke langit, tanah berguncang kuat menghancurkan setiap bangunan begitupun istana di mana Laksmiwati berada. Atap bangunan mulai runtuh, tiang-tiang penyangga mulai retak dan seketika istana itu pun roboh menimpa apa pun yang ada didalamnya. Laksmiwati tak berdaya, ia ikut terpendam bersama puing-puing bangunan. Rasa sakit terasa semakin parah, organ-organ tubuh tak lagi merespon kehendak hati, yang tersisa hanya nafas yang tersendat-sendat, ia tak sadarkan diri.

Dalam kegelapan dan kesunyian, jiwanya melayang terombang-ambing seperti kapas tertiup angin. Sebuah keadaan yang pernah ia rasakan sebelumnya, namun sedikit-sedikit berubah menjadi suasana yang sangat mencekam, tak ada hal yang semencekam seperti yang ia rasakan saat ini. Hawa panas terasa membakar tubuh dan organ-organ di dalam tubuh Laksmiwati, kemudian tercium aroma busuk bangkai menyengat indera penciumannya dan memenuhi setiap ruang, dibawa bersamaan dengan datangnya sesosok tubuh berjubah serba hitam. Ya, malaikat maut itu datang menagih janji, yang pernah diucap oleh Laksmiwati. Kemudian malaikat maut menghampiri Laksmiwati.

“Sungguh mengesankan, wanita nan ayu, lembut bagai embun, halus seperti semilir angin pagi berubah menjadi sesosok yang menakutkan”. Malaikat maut berbicara sambil mengelilingi tubuh Laksmiwati yang sudah tak berdaya. Laksmiwati tegang, berkata pun ia tak sanggup. Ada hal yang berubah pada sosok malaikat maut yang pernah menemuinya sebelum ini, pertanyaan itu pun mengawang dibenaknya. Kemudian.

“Kenapa, kau bingung dengan penampilanku saat ini?”. Malaikat maut sambil menunjukkan penampilannya.

“Ya, aku bisa seperti ini”. Malaikat maut berubah menjadi sosok yang menyenangkan hati untuk dilihat, aroma wewangian memenuhi setiap sudut di mana ia berada dan suasana terasa sejuk dan tenang, diiringi lantuan musik yang menghipnotis siapapun yang mendengar. Dampaknya, kepasrahan tertinggi  bagi siapapun yang akan ia cabut nyawanya. Ya, hal ini pernah dirasakan Laksmiwati ketika pertama kali ia bertemu dengan malaikat maut. Tiba-tiba, ia rubah lagi bentuknya seperti semula. Tak enak dilihat, tak ada wewangian melainkan bau busuk menyengat penciuman, hawa terasa panas membakar tubuh dan isinya, suara histeris mencekam, menggema, detak jantung berdetak kencang, yang ada hanya ketakutan yang sangat dahsyat.  

“Kau tahu?” lanjut malaikat maut. Laksmiwati terlihat sangat gelisah dan ketakutan bukan kepayang. Ekspresi itu hanya terlihat dari gelak matanya yang tegang.

“Sebagian pekerjaanku kau rampas, bahkan kau mencabut nyawa yang belum saatnya ku cabut, para malaikat di langit memprotes tindakanmu, tapi aku harus menepati janji yang sudah kita buat. Malaikat juga harus menepati janjinya, bukan?”.

“Dan satu hal lagi”. Lanjutnya.

“Tindakanmu menyebabkan banyak perdebatan di langit. Para malaikat mempertanyakan hukuman apa yang layak untukmu, karena.... “. Malaikat maut terdiam sejenak.

“......lihat kau menyebabkan banyak kerusakan, banyak kematian dan hal lain yang akan menjadi sejarah terburuk bagi kehidupan mendatang”.

Tak lama berselang, muncul cahaya dari atas yang menembus langit. Cahaya itu turun tak jauh dari tempat di mana mereka berdua berada. Laksmiwati sama sekali tidak tahu siapa lagi yang datang, kemudian dari cahaya tersebut muncul sesosok tubuh, berjubah serba putih dengan sayap di punggungnya. Aroma busuk yang dibawa malaikat maut, sesaat hilang. Kali ini yang tercium aroma yang sangat wangi, aroma yang belum pernah tercium sebelumnya. Rambutnya putih bermahkota kristal dengan binar cahaya di atasnya, tubuhnya lebih besar dari malaikat maut. Ia membawa jubah hitam, entah apa maksud kedatangannya dan jubah tersebut. Laksmiwati tidak mampu menerka. Ia sudah pasrah tak berdaya menerima apa yang akan terjadi. Kemudian, malaikat maut menunduk menyambut kedatangan sosok tersebut. Tiba-tiba.

“Kau pikir mati akan menyelesaikan apa yang telah kau perbuat”. Ucap sosok berjubah putih itu. Mata Laksmiwati membelalak, ia tak pernah setegang itu. Sedangkan tubuhnya sama sekali tak bisa ia gerakkan begitupun mulutnya tak bisa bersuara. Ia tidak tahu apa yang akan ia terima. Kemudian sosok berjubah putih membuka tabir ingatan masa lalu Laksmiwati, apa yang terjadi sebelum dan sesudah ia mengejar dendamnya. Ia lihat api berkobar membakar rumah-rumah, ia lihat prajurit-prajurit Godemar datang dan mengancurkan apapun yang mereka temukan, ia dengar jeritan tangis dan rintihan mohon ampun, ia lihat mengapa orang Godemar menjadi brutal dan bengis, ia lihat kedamaian di tempat ia tinggal, Karuyum. Ia pun melihat orang-orang yang ia sayang mati dan ia juga lihat bagaimana perdebatan para malaikat mengecam apa yang ia perbuat. Kemudian.      

“Laksmiwati, kau tidak akan mati”. Bisik sosok berjubah putih langsung ke telinganya. Air mata Laksmiwati mulai menetes, ia membayangkan hal paling buruk akan ia rasakan sebagai hukuman atas tindakannya. Sosok berjubah putih itu hanya tersenyum melihat perubahan pada diri Laksmiwati. Tiba-tiba terdengar sebuah mantra keluar dari mulut sosok berjubah putih, mantra yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Tiba-tiba.

Dari tangan sosok berjubah putih keluar cahaya putih, tubuh Laksmiwati diselimuti cahaya tersebut, ia melayang terangkat olehnya, kemudian satu-persatu pakaiannya dilucuti oleh cahaya tersebut hingga tak sehelaipun tersisa. Tiba-tiba, jubah yang dibawa sosok berjubah putih terbuka dan melayang menghampiri Laksmiwati. Tubuhnya semakin terangkat tinggi dan jubah tersebut memakai dirinya sendiri ke tubuh Laksmiwati.  Seketika jubah itu terpasang, ia merasakan sebuah energi yang sangat besar masuk ke dalam tubuhnya, luka sayatan dan tusukan pada tubuhnya hilang seketika, begitupun tulang-tulang yang remuk akibat hantaman benda keras, sembuh dengan sendirinya. Seketika itu pula tubuh Laksmiwati jatuh, namun ia jatuh berdiri. Ia tidak lemah lagi.

Melihat perubahan yang terjadi pada Laksmiwati, sosok berjubah putih membacakan kembali mantra-mantranya, tiba-tiba Laksmiwati kembali terangkat mengawang, kali ini kulit tubuhnya menjadi putih dan halus tak seperti sebelumnya, matanya menjadi bening sebening air hujan, terpancar sebuah sinar dari wajah yang menyejukkan setiap mata yang memandang, muncul juga sayap di sebelah kanan dan kirinya, terasa halus seperti kain sutera dan setiap kali sayap itu ia kepakkan udara terasa sejuk dan adem, kemudian aroma wewangian pun tercium. Tak lama perubahan itu terjadi Laksmiwati turun, wajahnya terlihat berseri dan senyumnya terasa sangat manis. Kemudian.

Sosok berjubah putih membacakan kembali manteranya. Kali ini, kulit putih yang dimiliki Laksmiwati berubah menjadi hitam dan kasar sedikit bersisik, begitupun matanya berubah menjadi merah. Ia teriak sekeras mungkin, ia rasakan kekuatan masuk ke setiap bagian tubuhnya lagi. Ia menjerit sekeras-kerasnya kesakitan. Lalu sayap putih yang ia miliki berubah menjadi hitam, keluar merobek kulit dan dagingnya, ia menjerit lagi. Kemudian dari belakang muncul buntut panjang sepanjang tubuhnya, di ujungnya terdapat mata panah yang sangat runcing dan tajam, ia semakin menjerit menahan rasa sakit, tak lama kemudian bau anyir dan busuk pun tercium. Sampai perubahan pada dirinya sempurna, ia langsung jatuh ke tanah. Laksmiwati merintih sangat kesakitan, tubuhnya terkapar di tanah. Kali ini ia merasakan kembali rasa sakit yang sangat pedih. Ia merasa ada dua bentuk yang menyatu pada dirinya. Kemudian.

Laksmiwati bangkit, meski berat dan sakit. Lalu ia memperhatikan setiap perubahan pada tubuhnya, ia lihat satu persatu. Ia pegang buntut di belakangnya, ia pegang sayap di punggungnya, ia sentuh kulitnya. Dan ia rasakan ada pusara kekuatan besar terdapat di tubuhnya. Sampai itu semua terjadi Laksmiwati tak tahu apa yang sedang direncanakan oleh sosok berjubah putih. Namun, seketika ia menoleh ke arah malaikat maut yang berada disamping sosok berjubah putih. Ia kaget sekaget kagetnya, ia lihat ada kemiripan pada dirinya yang ia alami dengan malaikat maut. Jubahnya, warna kulitnya, sayapnya dan perubahan yang pernah malaikat maut tunjukkan sebelumnya. Setelah melihat kemiripan tersebut Lakmiwati tersadar, lalu ia tatap wajah malaikat maut, seketika itu pula malaikat maut tersenyum padanya dan tiba-tiba malaikat maut berubah menjadi burung gagak, ia terbang meninggalkan Laksmiwati dan sosok berjubah putih. Dari kepakkan sayapnya terlepas sehelai bulu sayap, terayun melayang jatuh ke tanah. Kemudian diambil oleh sosok berjubah putih. Laksmiwati menyadari apa yang sedang terjadi, kemudian ia teriak sekencang-kencangnya.

“Tidakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk!”. Ia tersungkur tak berdaya, ia tak menyangka akan seperti ini hasil dari perbuatannya. Kemudian.

“Kau ku kutuk menjadi malaikat maut, tidak ada lagi malaikat maut melainkan dirimu saat ini”. 

“Tidak.....!”.

“Biarkan aku mati, sebagai tebusan dari dosa-dosa yang telah ku lakukan. Aku ingin menyusul orang-orang yang ku sayangi, bersatu bersama mereka, berkumpul dengan para nenek moyang bangsaku terdahulu”. Laksmiwati memohon. Sosok berjubah putih hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian.

“Kau pikir seenak itu, setelah apa yang telah kau perbuat, kau bisa leluasa bertemu dengan mereka yang sudah mati, Tidak!!”.  Laksmiwati terdiam. Kemudian.

“Mengapa kau merubah diriku menjadi dua sosok yang sangat berbeda?” tanya Laksmiwati.

“Dengar, jika nyawa yang kau cabut adalah orang baik, maka kau akan menjemputnya seperti bidadari menjemput kekasihnya. Ia akan terbuai melihatmu dan ingin berlama-lama merasakan kehadiranmu. Tapi sebaliknya, jika nyawa yang kau cabut adalah orang jahat, kau akan berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan seperti tadi. Kau pun akan merasakan pedih dari apa yang pernah orang itu perbuat, sehingga kau akan cepat-cepat mencabut nyawa orang tersebut”. Jelas sosok berjubah putih.

“Lalu, sampai kapan kutukan ini akan aku jalani?”.

“Kutukan ini akan terus kau alami, sampai kenangan terindah yang kau lupakan demi dendammu, kau ingat kembali”.  

“Apa itu? hanya kau yang tahu”. Jelas sosok berjubah putih. Sejenak Laksmiwati berfikir kenangan apa yang akan menghilangkan kutukan tersebut. Kemudian.

“Kau tahu?, malaikat maut tidak boleh memiliki kenangan, karena masa lalu akan membuatmu iba, membuatmu takut, membuatmu terbatas dan yang paling penting, akan menggangu pekerjaanmu”. Tegas sosok berjubah putih. Laksmiwati bingung, apa maksud dari perkataan tersebut. Tiba-tiba.

Sosok berjubah putih memegang kepala Laksmiwati, seketika itu pula ia menghapus seluruh ingatan Laksmiwati. Tubuh Laksmiwati terkejang-kejang mengalami hal dahsyat tersebut, matanya melotot seakan ingatan-ingatan masa lalunya tak ingin keluar dari benaknya, saling tarik menarik. Tergambar lagi kejadian masa lalu yang pernah ia alami, dari proses ia diciptakan, dari kata pertama yang ia ucapkan, dari cinta pertama yang ia rasakan, ciuman dan pelukan, dari setiap angan dan mimpinya begitu pula dendamnya. Wajah-wajah yang pernah bersamanya, kejadian yang membahagiakan dan kejadian yang menyakitkan. Apa yang ia ingat, seketika itu pula terhapus. Ia tak mengenali wajah ibunya, tak tahu dari mana ia berasal bahkan ia tak tahu namanya sendiri, apalagi ingatan kecil yang bisa mengangkat kutukannya tersebut. Tak lama kemudian setelah proses itu terjadi, Laksmiwati berubah drastis. Gerak tubuhnya, nada suaranya dan segala hal tentangnya hilang seketika. Kemudian.

“Siapa kau?” tanya malaikat maut.

“Aku adalah Raja Para Malaikat, kau akan tunduk padaku dan patuh padaku”. Seketika itu pula malaikat maut menunduk, tanda ia akan tunduk dan patuh kepadanya. Kemudian bulu burung gagak yang tertinggal tadi, diselipkan di sela-sela telinga dan kepala malaikat maut oleh Raja Para Malaikat. Seketika itu pula malaikat maut tak lagi menapak ke bumi, ia melayang tanda perubahan menjadi malaikat maut telah sempurna.

Setelah proses itu selesai, lengkaplah sudah. Laksmiwati bukan siapa-siapa lagi melainkan malaikat maut yang akan bergentayangan ke setiap penjuru bumi, mencabut nyawa-nyawa yang sudah waktunya ia cabut.

Sosok berjubah putih yang tidak lain adalah Raja Para Malaikat kembali berubah menjadi cahaya, dan tidak lama berselang cahaya itu kembali naik ke langit dan menghilang. Sang malaikat maut, mengepakkan kedua sayapnya ia bersiap melaksanakan tugas-tugasnya.

Bersambung... (on progress)
Bagian II
Kembang Tenggelam di Lokapuja
            


Tidak ada komentar:

Posting Komentar