Siang hari, bel
pelajaran terakhir berdering, seluruh murid terlihat gembira mengemasi
perlengkapan belajarnya. Ada senyum yang tadi sempat tertahan akibat
kemumetan, ada canda memancing tawa yang beberapa jam lalu dilarang oleh guru
dan ada semangat yang berbeda dengan semangat ketika bel masuk berbunyi tadi
pagi. Ya, apalagi pelajaran pertama itu dimulai dengan pelajaran Matematika dan Fisika. Dari balik jendela kelasku terlihat murid-murid kelas lain keluar lebih dulu. Rawut wajah mereka menggambarkan apa yang mereka rasakan,
muka kusut, senyum hambar dan biasanya sensitif. Dari tempat dimana ku berada,
sepasang mata lentik melirikku dari depan, selang tiga detik merah delima warna
bibirnya merekah, aku selalu terpesona saat itu terjadi, meski tanganku
mengerjakan yang lain, namun mataku terfokus padanya. Fani nama panggilannya,
ia baru sebulan masuk sekolah ini, namun begitu cepat ia dikenal. Bagiku, semua
kriteria murid laki-laki di sekolah ini ada pada dirinya, namun isu yang
terdengar, ia sedang dekat dengan ketua OSIS, sejauh itulah aku mengetahui
perkembangannya. Tidak lama kemudian aku maju ke depan, murid yang lain berdiri
sambil mengikuti instruksiku. Setelah berdoa dan bersalaman dengan para guru,
kami pun berhamburan meninggalkan kelas bergabung dengan keramaian yang lain.
Sekolahku berada di
ujung pasar, di depannya terdapat dua kolam ikan atau biasa kami sebut balong mengapit jalan masuk ke sekolah.
Dua buah papan mading menyambut siapapun yang datang, berbagai macam
kreasi tertempel di sana. Mulai dari gambar, puisi, cerpen sampai curhatan-curhatan
untuk seseorang yang spesial. Beberapa langkah dari sana ada dua
arah yang memisah: ke kiri menuju ruang guru dan ke kanan menuju kelas-kelas.
Konstruksi bangunan sekolahku berbentuk letter
J, di tengahnya terdapat lapangan yang masih beralaskan tanah. Lapangan
tersebut berfungsi untuk kegiatan upacara dan olah raga. Di sebelah kanannya
terdapat mushola kecil yang biasa ku gunakan untuk tidur saat guru tak datang.
Di depannya terdapat lapangan basket,
yang biasa juga menjadi tempat hukuman bagi murid-murid yang melanggar disiplin,
entah itu dijemur, push up, sit up atau berlari mengelilinginya. Di
belakang mushola terdapat kantin kecil yang diurus oleh sepasang suami-isteri yang
sudah lanjut usia. Di belakang kantin terdapat gudang kecil yang biasa
digunakan untuk menyimpan peralatan sekolah yang rusak, ini merupakan tempat
persembunyian paling aman bagi kami untuk merokok. Di samping sekolah terdapat
kebun ubi, luas sepanjang mata memandang. Dan yang terakhir ingin ku beri tahu
adalah, di belakang sekolahku terdapat kuburan tua, banyak yang sudah tidak
terurus, banyak nisan berserakan dan berlumut, banyak kuburan yang hancur
akibat pohon kamboja yang tumbuh di atasnya dan beberapa pohon besar nan tinggi
dan bercabang terkesan seperti tumbuh tidak wajar. Konon banyak kisah misteri
yang menjadi buah bibir warga setempat. Tapi
tenang, bukan itu yang akan aku bahas.
Setelah nongkrong sejenak bersama teman-temanku di
depan kios rental PS, dengan setengah
batang rokok masih menyala kami pun berpisah. Aku pergi menuju tempat pemberhentian
angkot, walau banyak delman yang kosong, kali ini aku memilih untuk naik
angkot. Siang itu meski terasa panas, namun sepoi udara dingin yang tertiup
dari gunung Ciremai masih bisa menyejukkan suasana, dari jauh kabut masih
terlihat menyelimuti, terbayang betapa sejuknya jika ku berada di atas sana.
Di seberang jalan banyak kegiatan yang ku lihat: para pedagang sedang
tawar-menawar, seorang ibu mengandeng anaknya berjalan, tukang parkir sibuk
membantu sopir masuk dan keluar tempat parkir dan polisi sibuk mengatur lalu
lintas. Tiba-tiba dari kejauhan seorang wanita berseragam putih abu-abu dengan sweeter berwarna abu-abu, menghampiri
tempat di mana ku berada.
Rambutnya hitam dan
panjang ia ikat dengan ikat rambut berwarna putih, dengan tas ransel warna
hitam, terlihat sudah dipenuhi buku, ia juga membawa beberapa buku di
tangan kanannya, terlihat begitu repot. Wajahnya sedikit muram tapi tidak
menghilangkan pesona awal yang ku lihat. Langkahnya semakin mendekat dari
tempat di mana ku berada. Dan semakin ia mendekat, jantungku semakin berdetak
kencang.
Sambil menunggu angkot
yang kosong, aku mulai memberanikan diri mencuri gambar wajahnya. Sesekali ia
sadar, ku palingkan wajahku ke arah yang lain dan seketika pandangannya
mengarah ke angkot yang datang, seketika itu pula ku rampok seluruhnya;
wajahnya, bajunya dan bentuk tubuhnya. Semakin lama aku melakukan itu, semakin
besar harapanku agar angkot yang berhenti sudah dipenuhi penumpang.
Kesan awal yang ia bawa,
menarikku untuk mencoba memulai percakapan, meski sedikit ada kebingungan untuk
memilih apa yang harus ku tanya, teringat usaha-usahaku semacam ini pernah
ku lakukan. Aku sadar, aku tidak pandai dalam hal ini, beberapa kali ku coba
namun tak pernah berkesan. Mereka hanya seperti kupu-kupu yang sejenak hinggap
menunjukkan keindahannya kemudian pergi dan tak pernah bertemu kembali,
meninggalkan kekaguman dalam hati dan sedikit penyesalan karena tak berlanjut
dikemudian hari.
Beberapa orang yang
menunggu angkot bersamaku mulai berkurang, dari mulai banyak, sedikit sampai
hanya tinggal kami berdua. Anehnya, ketika tinggal kami berdua, angkot yang
berhenti tidak sebanyak sebelumnya. Aku semakin bersyukur karena mungkin Tuhan
mengijinkanku untuk membuka percakapan dengannya. Kemudian.
“Pulang kemana?”. Ia tersenyum, beberapa inci dari ujung
bibirnya terlihat lesung pipi yang kembar dengan pipi sebelahnya, kemudian
matanya mengecil seakan enggan menjawab, ku naikkan alisku, menunggu jawabnya.
Senyumnya masih ia tahan, bulu matanya naik-turun dan matanya mengarah tepat ke
wajahku.
“Ke rumah”. Jawabnya sambil tersenyum. Lagi-lagi lesung
kembar pipinya terbentuk.
Setelah mendengar jawabannya, aku semakin tertantang
untuk bertanya lagi, karena jawaban yang ia berikan belum cukup bagiku.
“Maksudku, rumahnya dimana?”. Ku perjelas pertanyaanku.
Ia malu-malu untuk memberikan jawaban. Lalu ku paksa lagi dengan pertanyaan
yang sama. Kali ini ia jawab, namun…
“Ke arah sana”. Ia menjawab sambil menunjukkan arah.
Tidak puas dengan jawaban yang ia berikan, ku respon dengan terpaksa dan
sedikit kecewa.
“Owh, ke arah sana”. Beberapa angkot berhenti, namun
kelihatannya belum ada bangku yang kosong. Karena jam segini, jadwal pulangnya murid-murid
dari sekolah bersamaan dengan hiruk-pikuk pasar yang akan sepi kala senja tiba.
Rasa penasaranku pun tak mau berhenti, masih ada nyali untuk membuka percakapan
dengannya. Kemudian aku kembali bertanya.
“Kalau sekolahnya dimana?”. Pandangannya yang fokus ke
arah kendaraan yang lewat, berbalik ke arahku. Bola matanya ke atas, seakan ia
sedang memilih jawaban yang mengawang di atas kepala. Lama ia terdiam, aku
pun hampir putus asa untuk mendengar jawabannya. Lalu.
“Gak jauh dari sini”. Jawabnya. Sedikit membuatku
frustasi. Ku remas daguku sambil menghirup udara dalam-dalam, berusaha menerima
responnya. Kemudian aku berpikir, mungkin ia sedang tidak ingin diganggu,
mungkin tugasnya yang banyak membuatnya malas meladeni siapa saja yang bertanya
atau wajahku kurang mengairahkannya untuk membalas percakapan yang sedang ku
coba. Tak lama kemudian ia tersenyum, namun mengarah ke depan, terkesan seperti
meledek. Ku lihat ekspresinya dan merasa ada yang aneh. Aku pun kemudian
memberanikan diri bertanya apa yang menyebabkan ia tersenyum sendiri.
“Kenapa senyum sendiri?”. Tanyaku penasaran. Kemudian ia
belokkan wajahnya menghadap ke wajahku, senyumnya masih merekah. Kali ini aku
baru sadar, ada tahi lalat di antara kelopak mata dan alisnya. Kemudian ku
naikkan sedikit pandanganku, ku lihat bulu matanya lentik seperti ombak,
matanya bersinar seperti ada permata di dalamnya. Tak lama kemudian, ia
palingkan wajahnya lagi sambil membawa senyumnya yang belum habis. Pertanyaan
tidak terjawab.
Ku putar otakku mencari pertanyaan yang sekiranya
terjawab olehnya dengan jelas. Sejak tadi aku sadar kalau ia membawa buku
begitu banyak, kemungkinan ia akan mengerjakan banyak tugas di rumahnya nanti.
Kemudian.
“Lagi banyak tugas yah?”. Tanyaku asal. Ia kerutkan
alisnya sambil kembali menghadap wajahku. Kali ini tidak ada senyum yang ia
berikan. Aku merasa janggal dengan rawut wajahnya yang berbeda kali ini. Tidak
lama kemudian, senyum itupun datang kembali, aku ikut tersenyum merasa
lega, takut kalau ia tersinggung dengan pertanyaanku tadi. Tak lama kemudian
angkot berhenti tepat di depan kami berdua. Beberapa penumpang turun, terlihat
ada beberapa bangku kosong. Gerak-gerik kakinya seakan berat untuk naik angkot
tersebut, ia terlihat ragu. Begitupun aku, rasa penasaranku padanya masih
menancap, sampai ada sedikit yang ku ketahui tentangnya, aku baru rela pulang.
“Kok gak naik?”.
Tanyaku lagi. Kini ku mulai berani sedikit mendekat. Ia berbalik dan menatapku,
kali ini ia hanya merespon dengan geleng-geleng kepala walau dibarengi dengan
senyuman. Sisa wangi parfume yang
masih menempel di pakaiannya tercium oleh hidungku sekejap aku merasa berada di
dalam istana bunga, di mana warna-warninya menghipnotisku hingga lemah tak
sadarkan diri, di mana setiap wangi yang masuk menjadi obat penawar luka dan
derita. Mataku terpejam menikmatinya, tapi kemudian ketika sedikit-sedikit ku membuka
mata, matanya sudah menyekak mataku. Tak dapat ku sembunyikan ekspresiku
darinya, aku malu. Pertanyaan tidak terjawab lagi.
Walau sedikit malu, ku pertahankan niatku untuk mengetahuinya
lebih jauh. Ada hal baru yang membuatku semakin tertarik kali ini. Ia
menempelkan beberapa pin di tasnya, salah satunya pin bergambar granat berbentuk
hati yang sedang dikepal, lambang Green
Day. Masa SMA adalah masanya Punk
Rock, hampir setiap sekolah yang menggelar acara band, salah satunya pasti
ada yang membawakan lagu punk. Begitupun
aku, koleksi kaset punk-ku berderet
di atas lemari, lima poster band-band punk
favoritku tertempel di dinding, bahkan ada yang ku tempel di langit-langit.
Setiap pagi setelah mandi sebelum berangkat sekolah, ku setel kencang-kencang,
hanya sekedar mengumpulkan semangat sebelum pelajaran memusingkan otakku. Terutama
Green Day, aku benar-benar fans
beratnya. Kemudian.
“Suka Green Day?”.
Tanyaku padanya. Ia tersenyum. Kali ini ku yakin pertanyaanku tepat untuk
mencairkan kekakuan pada dirinya. Ku membayangkan, akan ada percakapan yang
lebih dalam setelah ini atau pertanyaan-pertanyaanku sebelumnya ia jawab dengan
jelas. Lalu membuka percakapan baru dan saling menimpal tanya-jawab. Hatiku
mulai senang, senyumnya masih berlangsung, akupun tak sabar mendengar ia
menjawab “iya”. Tiba-tiba senyumnya hilang begitu saja. Prediksiku pun salah
seratus delapan koma sekian derajat, tak satupun kata ia ucapkan. Aku kembali
bingung pertanyaan tidak terjawab lagi.
Ku hela nafas, entah mau ku bilang apa. Kecewa dalam
penasaran atau penasaran dalam kekecewaan. Ku coba mengkategorikan ia ke
beberapa tipe wanita yang ku pelajari dari teman-temanku, majalah dan internet.
Wanita periang, jelas bukan. Wanita cool,
mungkin sedikit. Wanita agressif, tak sedikitpun yang menandakan itu. Wanita
penyendiri, mungkin bisa. Wanita low
profile, ciri ini belum bisa ku akui karena aku belum tahu tentangnya.
Wanita sombong, sepertinya tidak, sejak tadi senyumnya selalu merekah ia sedekahkan untukku. Setelah
sekian kategori ku coba dan tak satupun cocok, aku pun membuat kategoriku
sendiri, yaitu; wanita aneh.
Sejenak ku berpikir kembali, me-review proses awal dimana aku mulai membuka percakapan dengannya. Mungkin
sikapku yang agresif membuatnya malas meladeni pertanyaan-pertanyaanku, mungkin
prilakuku terkesan memaksanya untuk memulai pembicaraan dan mungkin rasa ingin
tahuku terlalu menggebu-gebu sehingga mudah diprediksi. Sempatku berpikir untuk
melepas keinginan untuk mengenalnya, namun wajahnya yang sudah terekam dalam
hati seakan menertawai jika itu terjadi. Untuk wanita sepertinya, aku tak boleh
menyerah.
Tidak ada kata telat untuk memulai sesuatu menjadi lebih
baik. Akhirnya ku putuskan memulai kembali dari awal dan lebih sopan.
“Maaf ya, kalau tadi aku terlalu rusuh. Kalau boleh tahu
nama kamu siapa?”. Tiba-tiba.
“Nah begitu, kalau mau bertanya harus sopan?”. Jawabnya
singkat. Aku tersenyum, merasa bersalah dengan sikap awalku tadi.
“Iya maaf”. Tambahku. Senyumnya kembali merekah, ingin
sekali ku sentuh lesung pipinya dan merasakan apakah ada kehangatan di
dalamnya. Tiba-tiba konsentrasiku terpecah oleh suara sang knek. “Cirebon, cirebon!”.
Dari jauh beberapa orang lari menuju angkot, kemudian
satu persatu masuk ke dalamnya. Sang knek kembali berteriak “Cirebon, cirebon”
sambil mondar-mandir mencari penumpang.
“Cirebon jang?”. Aku hanya menggelengkan kepala. Kemudian
ia bertanya ke wanita itu dengan pertanyaan yang sama. Ia hanya senyum dan
menggelangkan kepala. Tidak lama berselang angkot pun berangkat, begitupun
kegaduhan yang dibuat oleh sang knek. Setelah suasana kembali normal, aku
kembali sadar bahwa ia belum menjawab pertanyaanku tadi.
“Maaf, nama kamu siapa, tadi belum dijawab?”. Kembali ku
ulang pertanyaan yang sama, meski dalam hati terdengar kata “sabar, sabar,
sabar”. Kemudian.
“Benar-benar mau tahu emang?”. Tanyanya innoncent.
“Iyah”. Jawabku melas. Ia palingkan wajahnya ke arah yang
lain, sedangkan aku sama sekali tak mau berpaling, menunggu jawabannya. Lama ku
tunggu ia mengeluarkan suara dan menyebut namanya. Detik terus berputar menjadi
beberapa menit dan selama itu pula, dengan sabar dan santun ku tunggu
jawabannya. Wajahnya masih menghadap ke arah yang lain. Hatiku miris, dalam
hatiku berkata perlukah ku berdoa pada Tuhan, “Tuhan luluhkanlah hatinya”
sambil sujud padanya di tengah keramaian ini. Ku hela nafas, kali ini rasa
frustasiku lebih dominan dibanding sebelumnya. Pertanyaan tidak terjawab lagi.
#
# # #
Beberapa penumpang
turun, terlihat ada bangku kosong di dalam. Ku hela nafas, dengan sejumlah kesal
yang sudah ia perbuat padaku tadi. Ku lihat sedikit-sedikit kakinya menaiki
angkot, tangan kirinya memegang besi sebagai pegangan sedangkan tangan kanannya
membawa beberapa buku, kemudian badannya membungkuk agar bisa masuk ke dalam
dan beberapa saat kemudian ia duduk di bangku tengah. Angkot masih belum
berangkat karena masih ada bangku kosong. Meski angkot ini melewati daerah
dimana ku tinggal, namun ku putuskan untuk tidak naik. Dari luar ku pandangi
wajah yang selama lima belas menit ini menjadi penarik perhatianku, menggugahku
untuk melakukan suatu tindakan, berfikir untuk menemukan titik temu dan
berkhayal dalam kesan awal yang masih kosong. Tiba-tiba dua orang penumpang
naik dan memenuhi bangku di dalam. Sang knek memberi isyarat pada sopir bahwa
sudah penuh dan saat itu pula wajahnya menatap padaku. Roda angkot mulai
berputar, seketika senyum terakhirnya ia berikan padaku hanya tinggal sisa, tak
bisa ku jaga keutuhannya dalam memoriku. Seminggu atau dua minggu senyum itupun
akan terlupakan.
Ia seperti kupu-kupu, sejenak hinggap menunjukkan keindahannya kemudian pergi dan tak pernah
bertemu kembali, meninggalkan kekaguman dalam hati dan sedikit penyesalan
karena tak berlanjut dikemudian hari.
Dalam hati ku ucapkan
“Selamat jalan wanita aneh”.
Fikry,
Kupang, 14 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar