Senin, 24 Juni 2013

15 Menit



Siang hari, bel pelajaran terakhir berdering, seluruh murid terlihat gembira mengemasi perlengkapan belajarnya. Ada senyum yang tadi sempat tertahan akibat kemumetan, ada canda memancing tawa yang beberapa jam lalu dilarang oleh guru dan ada semangat yang berbeda dengan semangat ketika bel masuk berbunyi tadi pagi. Ya, apalagi pelajaran pertama itu dimulai dengan pelajaran Matematika dan Fisika. Dari balik jendela kelasku terlihat murid-murid kelas lain  keluar lebih dulu. Rawut wajah mereka menggambarkan apa yang mereka rasakan, muka kusut, senyum hambar dan biasanya sensitif. Dari tempat dimana ku berada, sepasang mata lentik melirikku dari depan, selang tiga detik merah delima warna bibirnya merekah, aku selalu terpesona saat itu terjadi, meski tanganku mengerjakan yang lain, namun mataku terfokus padanya. Fani nama panggilannya, ia baru sebulan masuk sekolah ini, namun begitu cepat ia dikenal. Bagiku, semua kriteria murid laki-laki di sekolah ini ada pada dirinya, namun isu yang terdengar, ia sedang dekat dengan ketua OSIS, sejauh itulah aku mengetahui perkembangannya. Tidak lama kemudian aku maju ke depan, murid yang lain berdiri sambil mengikuti instruksiku. Setelah berdoa dan bersalaman dengan para guru, kami pun berhamburan meninggalkan kelas bergabung dengan keramaian yang lain. 

Sekolahku berada di ujung pasar, di depannya terdapat dua kolam ikan atau biasa kami sebut balong mengapit jalan masuk ke sekolah. Dua buah papan mading menyambut siapapun yang datang, berbagai macam kreasi tertempel di sana. Mulai dari gambar, puisi, cerpen sampai curhatan-curhatan untuk seseorang yang spesial. Beberapa langkah dari sana ada dua arah yang memisah: ke kiri menuju ruang guru dan ke kanan menuju kelas-kelas. Konstruksi bangunan sekolahku berbentuk letter J, di tengahnya terdapat lapangan yang masih beralaskan tanah. Lapangan tersebut berfungsi untuk kegiatan upacara dan olah raga. Di sebelah kanannya terdapat mushola kecil yang biasa ku gunakan untuk tidur saat guru tak datang. Di depannya terdapat lapangan basket, yang biasa juga menjadi tempat hukuman bagi murid-murid yang melanggar disiplin, entah itu dijemur, push up, sit up atau berlari mengelilinginya. Di belakang mushola terdapat kantin kecil yang diurus oleh sepasang suami-isteri yang sudah lanjut usia. Di belakang kantin terdapat gudang kecil yang biasa digunakan untuk menyimpan peralatan sekolah yang rusak, ini merupakan tempat persembunyian paling aman bagi kami untuk merokok. Di samping sekolah terdapat kebun ubi, luas sepanjang mata memandang. Dan yang terakhir ingin ku beri tahu adalah, di belakang sekolahku terdapat kuburan tua, banyak yang sudah tidak terurus, banyak nisan berserakan dan berlumut, banyak kuburan yang hancur akibat pohon kamboja yang tumbuh di atasnya dan beberapa pohon besar nan tinggi dan bercabang terkesan seperti tumbuh tidak wajar. Konon banyak kisah misteri yang menjadi buah bibir warga setempat.  Tapi tenang, bukan itu yang akan aku bahas.


Setelah nongkrong sejenak bersama teman-temanku di depan kios rental PS, dengan setengah batang rokok masih menyala kami pun berpisah. Aku pergi menuju tempat pemberhentian angkot, walau banyak delman yang kosong, kali ini aku memilih untuk naik angkot. Siang itu meski terasa panas, namun sepoi udara dingin yang tertiup dari gunung Ciremai masih bisa menyejukkan suasana, dari jauh kabut masih terlihat menyelimuti, terbayang betapa sejuknya jika ku berada di atas sana. Di seberang jalan banyak kegiatan yang ku lihat: para pedagang sedang tawar-menawar, seorang ibu mengandeng anaknya berjalan, tukang parkir sibuk membantu sopir masuk dan keluar tempat parkir dan polisi sibuk mengatur lalu lintas. Tiba-tiba dari kejauhan seorang wanita berseragam putih abu-abu dengan sweeter berwarna abu-abu, menghampiri tempat di mana ku berada. 

Rambutnya hitam dan panjang ia ikat dengan ikat rambut berwarna putih, dengan tas ransel warna hitam, terlihat sudah dipenuhi buku, ia juga membawa beberapa buku di tangan kanannya, terlihat begitu repot. Wajahnya sedikit muram tapi tidak menghilangkan pesona awal yang ku lihat. Langkahnya semakin mendekat dari tempat di mana ku berada. Dan semakin ia mendekat, jantungku semakin berdetak kencang.

Sambil menunggu angkot yang kosong, aku mulai memberanikan diri mencuri gambar wajahnya. Sesekali ia sadar, ku palingkan wajahku ke arah yang lain dan seketika pandangannya mengarah ke angkot yang datang, seketika itu pula ku rampok seluruhnya; wajahnya, bajunya dan bentuk tubuhnya. Semakin lama aku melakukan itu, semakin besar harapanku agar angkot yang berhenti sudah dipenuhi penumpang. 

Kesan awal yang ia bawa, menarikku untuk mencoba memulai percakapan, meski sedikit ada kebingungan untuk memilih apa yang harus ku tanya, teringat usaha-usahaku semacam ini pernah ku lakukan. Aku sadar, aku tidak pandai dalam hal ini, beberapa kali ku coba namun tak pernah berkesan. Mereka hanya seperti kupu-kupu yang sejenak hinggap menunjukkan keindahannya kemudian pergi dan tak pernah bertemu kembali, meninggalkan kekaguman dalam hati dan sedikit penyesalan karena tak berlanjut dikemudian hari.  

Beberapa orang yang menunggu angkot bersamaku mulai berkurang, dari mulai banyak, sedikit sampai hanya tinggal kami berdua. Anehnya, ketika tinggal kami berdua, angkot yang berhenti tidak sebanyak sebelumnya. Aku semakin bersyukur karena mungkin Tuhan mengijinkanku untuk membuka percakapan dengannya. Kemudian. 

     “Pulang kemana?”. Ia tersenyum, beberapa inci dari ujung bibirnya terlihat lesung pipi yang kembar dengan pipi sebelahnya, kemudian matanya mengecil seakan enggan menjawab, ku naikkan alisku, menunggu jawabnya. Senyumnya masih ia tahan, bulu matanya naik-turun dan matanya mengarah tepat ke wajahku. 

      “Ke rumah”. Jawabnya sambil tersenyum. Lagi-lagi lesung kembar pipinya terbentuk.

     Setelah mendengar jawabannya, aku semakin tertantang untuk bertanya lagi, karena jawaban yang ia berikan belum cukup bagiku. 

      “Maksudku, rumahnya dimana?”. Ku perjelas pertanyaanku. Ia malu-malu untuk memberikan jawaban. Lalu ku paksa lagi dengan pertanyaan yang sama. Kali ini ia jawab, namun…

    “Ke arah sana”. Ia menjawab sambil menunjukkan arah. Tidak puas dengan jawaban yang ia berikan, ku respon dengan terpaksa dan sedikit kecewa.

    “Owh, ke arah sana”. Beberapa angkot berhenti, namun kelihatannya belum ada bangku yang kosong. Karena jam segini, jadwal pulangnya murid-murid dari sekolah bersamaan dengan hiruk-pikuk pasar yang akan sepi kala senja tiba. Rasa penasaranku pun tak mau berhenti, masih ada nyali untuk membuka percakapan dengannya. Kemudian aku kembali bertanya.

    “Kalau sekolahnya dimana?”. Pandangannya yang fokus ke arah kendaraan yang lewat, berbalik ke arahku. Bola matanya ke atas, seakan ia sedang memilih jawaban yang mengawang di atas kepala. Lama ia terdiam, aku pun hampir putus asa untuk mendengar jawabannya. Lalu.

   “Gak jauh dari sini”. Jawabnya. Sedikit membuatku frustasi. Ku remas daguku sambil menghirup udara dalam-dalam, berusaha menerima responnya. Kemudian aku berpikir, mungkin ia sedang tidak ingin diganggu, mungkin tugasnya yang banyak membuatnya malas meladeni siapa saja yang bertanya atau wajahku kurang mengairahkannya untuk membalas percakapan yang sedang ku coba. Tak lama kemudian ia tersenyum, namun mengarah ke depan, terkesan seperti meledek. Ku lihat ekspresinya dan merasa ada yang aneh. Aku pun kemudian memberanikan diri bertanya apa yang menyebabkan ia tersenyum sendiri.

  “Kenapa senyum sendiri?”. Tanyaku penasaran. Kemudian ia belokkan wajahnya menghadap ke wajahku, senyumnya masih merekah. Kali ini aku baru sadar, ada tahi lalat di antara kelopak mata dan alisnya. Kemudian ku naikkan sedikit pandanganku, ku lihat bulu matanya lentik seperti ombak, matanya bersinar seperti ada permata di dalamnya. Tak lama kemudian, ia palingkan wajahnya lagi sambil membawa senyumnya yang belum habis. Pertanyaan tidak terjawab.


Ku putar otakku mencari pertanyaan yang sekiranya terjawab olehnya dengan jelas. Sejak tadi aku sadar kalau ia membawa buku begitu banyak, kemungkinan ia akan mengerjakan banyak tugas di rumahnya nanti. Kemudian.


   “Lagi banyak tugas yah?”. Tanyaku asal. Ia kerutkan alisnya sambil kembali menghadap wajahku. Kali ini tidak ada senyum yang ia berikan. Aku merasa janggal dengan rawut wajahnya yang berbeda kali ini. Tidak lama kemudian, senyum itupun datang kembali, aku ikut tersenyum merasa lega, takut kalau ia tersinggung dengan pertanyaanku tadi. Tak lama kemudian angkot berhenti tepat di depan kami berdua. Beberapa penumpang turun, terlihat ada beberapa bangku kosong. Gerak-gerik kakinya seakan berat untuk naik angkot tersebut, ia terlihat ragu. Begitupun aku, rasa penasaranku padanya masih menancap, sampai ada sedikit yang ku ketahui tentangnya, aku baru rela pulang.      


  “Kok gak naik?”. Tanyaku lagi. Kini ku mulai berani sedikit mendekat. Ia berbalik dan menatapku, kali ini ia hanya merespon dengan geleng-geleng kepala walau dibarengi dengan senyuman. Sisa wangi parfume yang masih menempel di pakaiannya tercium oleh hidungku sekejap aku merasa berada di dalam istana bunga, di mana warna-warninya menghipnotisku hingga lemah tak sadarkan diri, di mana setiap wangi yang masuk menjadi obat penawar luka dan derita. Mataku terpejam menikmatinya, tapi kemudian ketika sedikit-sedikit ku membuka mata, matanya sudah menyekak mataku. Tak dapat ku sembunyikan ekspresiku darinya, aku malu. Pertanyaan tidak terjawab lagi.


Walau sedikit malu, ku pertahankan niatku untuk mengetahuinya lebih jauh. Ada hal baru yang membuatku semakin tertarik kali ini. Ia menempelkan beberapa pin di tasnya, salah satunya pin bergambar granat berbentuk hati yang sedang dikepal, lambang Green Day. Masa SMA adalah masanya Punk Rock, hampir setiap sekolah yang menggelar acara band, salah satunya pasti ada yang membawakan lagu punk. Begitupun aku, koleksi kaset punk-ku berderet di atas lemari, lima poster band-band punk favoritku tertempel di dinding, bahkan ada yang ku tempel di langit-langit. Setiap pagi setelah mandi sebelum berangkat sekolah, ku setel kencang-kencang, hanya sekedar mengumpulkan semangat sebelum pelajaran memusingkan otakku. Terutama Green Day, aku benar-benar fans beratnya. Kemudian. 


  “Suka Green Day?”. Tanyaku padanya. Ia tersenyum. Kali ini ku yakin pertanyaanku tepat untuk mencairkan kekakuan pada dirinya. Ku membayangkan, akan ada percakapan yang lebih dalam setelah ini atau pertanyaan-pertanyaanku sebelumnya ia jawab dengan jelas. Lalu membuka percakapan baru dan saling menimpal tanya-jawab. Hatiku mulai senang, senyumnya masih berlangsung, akupun tak sabar mendengar ia menjawab “iya”. Tiba-tiba senyumnya hilang begitu saja. Prediksiku pun salah seratus delapan koma sekian derajat, tak satupun kata ia ucapkan. Aku kembali bingung pertanyaan tidak terjawab lagi.


Ku hela nafas, entah mau ku bilang apa. Kecewa dalam penasaran atau penasaran dalam kekecewaan. Ku coba mengkategorikan ia ke beberapa tipe wanita yang ku pelajari dari teman-temanku, majalah dan internet. Wanita periang, jelas bukan. Wanita cool, mungkin sedikit. Wanita agressif, tak sedikitpun yang menandakan itu. Wanita penyendiri, mungkin bisa. Wanita low profile, ciri ini belum bisa ku akui karena aku belum tahu tentangnya. Wanita sombong, sepertinya tidak, sejak tadi senyumnya selalu merekah ia sedekahkan untukku. Setelah sekian kategori ku coba dan tak satupun cocok, aku pun membuat kategoriku sendiri, yaitu; wanita aneh.

Sejenak ku berpikir kembali, me-review proses awal dimana aku mulai membuka percakapan dengannya. Mungkin sikapku yang agresif membuatnya malas meladeni pertanyaan-pertanyaanku, mungkin prilakuku terkesan memaksanya untuk memulai pembicaraan dan mungkin rasa ingin tahuku terlalu menggebu-gebu sehingga mudah diprediksi. Sempatku berpikir untuk melepas keinginan untuk mengenalnya, namun wajahnya yang sudah terekam dalam hati seakan menertawai jika itu terjadi. Untuk wanita sepertinya, aku tak boleh menyerah. 


Tidak ada kata telat untuk memulai sesuatu menjadi lebih baik. Akhirnya ku putuskan memulai kembali dari awal dan lebih sopan.


   “Maaf ya, kalau tadi aku terlalu rusuh. Kalau boleh tahu nama kamu siapa?”. Tiba-tiba.


  “Nah begitu, kalau mau bertanya harus sopan?”. Jawabnya singkat. Aku tersenyum, merasa bersalah dengan sikap awalku tadi. 


   “Iya maaf”. Tambahku. Senyumnya kembali merekah, ingin sekali ku sentuh lesung pipinya dan merasakan apakah ada kehangatan di dalamnya. Tiba-tiba konsentrasiku terpecah oleh suara sang knek. “Cirebon, cirebon!”.


Dari jauh beberapa orang lari menuju angkot, kemudian satu persatu masuk ke dalamnya. Sang knek kembali berteriak “Cirebon, cirebon” sambil mondar-mandir mencari penumpang. 


   “Cirebon jang?”. Aku hanya menggelengkan kepala. Kemudian ia bertanya ke wanita itu dengan pertanyaan yang sama. Ia hanya senyum dan menggelangkan kepala. Tidak lama berselang angkot pun berangkat, begitupun kegaduhan yang dibuat oleh sang knek. Setelah suasana kembali normal, aku kembali sadar bahwa ia belum menjawab pertanyaanku tadi. 


  “Maaf, nama kamu siapa, tadi belum dijawab?”. Kembali ku ulang pertanyaan yang sama, meski dalam hati terdengar kata “sabar, sabar, sabar”. Kemudian.


     “Benar-benar mau tahu emang?”. Tanyanya innoncent


   “Iyah”. Jawabku melas. Ia palingkan wajahnya ke arah yang lain, sedangkan aku sama sekali tak mau berpaling, menunggu jawabannya. Lama ku tunggu ia mengeluarkan suara dan menyebut namanya. Detik terus berputar menjadi beberapa menit dan selama itu pula, dengan sabar dan santun ku tunggu jawabannya. Wajahnya masih menghadap ke arah yang lain. Hatiku miris, dalam hatiku berkata perlukah ku berdoa pada Tuhan, “Tuhan luluhkanlah hatinya” sambil sujud padanya di tengah keramaian ini. Ku hela nafas, kali ini rasa frustasiku lebih dominan dibanding sebelumnya. Pertanyaan tidak terjawab lagi.


# # # #


Beberapa penumpang turun, terlihat ada bangku kosong di dalam. Ku hela nafas, dengan sejumlah kesal yang sudah ia perbuat padaku tadi. Ku lihat sedikit-sedikit kakinya menaiki angkot, tangan kirinya memegang besi sebagai pegangan sedangkan tangan kanannya membawa beberapa buku, kemudian badannya membungkuk agar bisa masuk ke dalam dan beberapa saat kemudian ia duduk di bangku tengah. Angkot masih belum berangkat karena masih ada bangku kosong. Meski angkot ini melewati daerah dimana ku tinggal, namun ku putuskan untuk tidak naik. Dari luar ku pandangi wajah yang selama lima belas menit ini menjadi penarik perhatianku, menggugahku untuk melakukan suatu tindakan, berfikir untuk menemukan titik temu dan berkhayal dalam kesan awal yang masih kosong. Tiba-tiba dua orang penumpang naik dan memenuhi bangku di dalam. Sang knek memberi isyarat pada sopir bahwa sudah penuh dan saat itu pula wajahnya menatap padaku. Roda angkot mulai berputar, seketika senyum terakhirnya ia berikan padaku hanya tinggal sisa, tak bisa ku jaga keutuhannya dalam memoriku. Seminggu atau dua minggu senyum itupun akan terlupakan. 


Ia seperti kupu-kupu, sejenak hinggap menunjukkan keindahannya kemudian pergi dan tak pernah bertemu kembali, meninggalkan kekaguman dalam hati dan sedikit penyesalan karena tak berlanjut dikemudian hari


Dalam hati ku ucapkan “Selamat jalan wanita aneh”.

Fikry,
Kupang, 14 Juni 2013
               
 
             
          
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar