Ku
lihat wajahnya memerah begitupun hidungnya. Air matanya mulai berlinang,
sebentar lagi ia akan menangis. Detak jantungnya berdetak kencang, begitulah
yang mulai aku rasakan. Perubahan di wajahnya tak dapat ku palingkan karena ia
berada tepat di depanku. Ia tak berucap apapun, hanya larut dalam kesedihan.
Seperti ada hal yang ia pendam di balik senyumnya yang selama ini membuat
hatiku tenang. Aku merasa kecolongan, ia mahir membuatku nyaman sedangkan
hatinya yang gundah pun, aku tak menyadarinya. Kemudian ia berkata “..........
# # # #
Memang
dahulu aku pernah menjadi kekasihnya, menjadi rindunya, menjadi mimpinya.
Setiap waktu yang ku lalui terasa cepat jika bersamanya, namun sebaliknya jika
tak bersama dengannya setiap detik berlalu terasa sangat lama. Tak ada yang ku
tunggu kala weekend tiba selain mengajak jalan atau hanya
sekedar ngobrol. Berbalas senyum, saling bertatapan, bercerita tentang
keindahan dan keajaiban kemudian mengakhirinya dengan saling bercumbu dan “mimpi
indah”. Melihat tulisan “Zahra calling” atau “1 massagge from Zahra” di Hpku adalah sebuah surprise, apalagi
jika suaranya yang lembut masuk ke telingaku kemudian menggema dalam tubuh dan
menetap di dalam hati dampaknya akan sangat lama, aku bisa seperti orang gila
senyum tanpa sebab. Namun, mengapa harus ada kata ‘namun’ untuk meneruskan
cerita ini aku baru saja memulainya mengapa tidak diganti dengan kata
‘kemudian’ atau ‘lalu’.
Lukisan
indah itu pun hancur oleh cat hitam yang tumpah, tak layak tuk dilihat apalagi
untuk ditunjukkan. Aku pun merasa seperti orang gila, sering menyendiri,
melamun layaknya patung yang sudah retak dan berlumut, pergi tanpa tujuan hanya
untuk diam, tak bisa menangis hanya
bisa berteriak itupun dalam hati.
Saat
yang ia butuhkan sebuah kepastian, aku belum bisa memberikan, lebih jelasnya
kehidupan yang pasti, kehidupan layak seperti ‘orang-orang’. Aku masih mencari
arti hidup, membangun kehidupan yang lebih baik sedikit demi sedikit. Sedangkan
lelaki yang ia sebut. Ia sudah mapan, berpredikat dan kelihatannya berpangkat.
Untuk kehidupan yang lebih bahagia baginya, aku pun mengalah tanpa perlawanan.
Seperti itulah bentuk rasa sayangku padanya. Aku tahu diri.
Ia
pun memutus komunikasi, dengan alasan yang memang tepat “Aku sudah milik
seseorang”. Saat itu pula, lukisan yang ku kerjakan dengan penuh rasa, rindu,
fantasi, imajinasi dan harapan terhenti dan segala rencana yang akan ku
kerjakan untuknya beterbangan dari benakku seperti kapas terbawa angin. Tidak
ada kesempatan, apalagi perasaan, padahal aku sedang semangat-semangatnya
menunjukkan padanya bahwa aku bisa lebih baik darinya.
Aku
masih terus mencoba menghubunginya, namun nomor Hpnya tidak aktif. Sepertinya
ia ganti nomor. Sedikit demi sedikit aku mulai menjalini kenyataan ini walau
setiap malam bayangnya selalu ada, mengusik kekosonganku dan tidurku. Aku
anggap itu hal yang biasa terjadi. Karena aku akui ia adalah cintaku yang
paling sejati. Namun seketika senyumku merekah, kala itu pula aku berfikir “Dia
tidak sejati karena yang sejati selalu ada seperti Sang Pemilik Hati yang
selalu ada”.
Berita
tentang pertunangannya ku dapat dari teman lamaku. Ia memperlihatkan
foto-fotonya padaku. Ia juga bercerita jumlah hadiah dan kadar emas yang
menjadi mas kawin nanti. Walau senyum yang ku ekspresikan padanya, namun hati
ini terasa terbakar. Aku telat membuktikan kerja kerasku. Aku tak dapat
menghentikan rencana itu karena saat ini, tidak ada banyak perubahan pada
diriku. Tidak ada yang bisa aku banggakan padanya.
Sudah
dua bulan lamanya, setelah berita pertunangan itu ku dengar, namun belum ada
berita kapan pernikahannya dilaksanakan. Apakah acara itu sengaja disembunyikan
dariku atau tidak lama acara pertunangannya ia langsung menikah. Aku tak tahu
pastinya. Kadang aku membodohi diriku sendiri, mengapa aku terus dibayangi apa
yang akan terjadi lagi padanya, padahal aku sudah tahu bahwa aku tak akan bisa
merubah jalan takdir yang sudah mendekati kenyataan. Namun aku masih berharap
dari jutaan harapku ada satu atau mungkin setengah yang akan benar-benar
terjadi. Dosakah aku jika ku berfikir seperti itu.
# # # #
Setiap
hari aku mengantarkan bunga pesanan pelangganku. Memang usaha ini sudah ku
bangun kurang lebih lima tahun yang lalu. Ada dua maksud mereka memesan bunga
padaku; pertama untuk sesuatu yang membahagiakan dan kedua; untuk sesuatu yang
menyedihkan. Aku pun harus pintar-pintar merangkainya sesuai tema dari
keduanya. Kadang aku berfikir, mengapa harus bunga yang menjadi simbol untuk
dua hal yang bertolak belakang. Mengapa kesedihan tidak disimbolkan dengan
bunga kering, karena hal yang kering berarti mati dan putus segala harapan. Namun aku tak bisa menerapkan
apa yang ada dipikiranku, karena aku harus tetap memenuhi keinginan setiap
pelanggan yang datang dan kebiasaan yang sudah lama berjalan.
Gerimis
mulai turun membasahi semua yang kering, tak lama tercium aroma tanah yang
melekat di jalan. Bagiku ini adalah saat yang benar-benar ku tunggu kala hujan
turun, karena aku bisa mencium sesuatu yang bisa membuat tanaman menjadi subur.
Khususnya untuk bunga yang ku tanam sebagai penghasilanku. Ku hirup aromanya
dalam-dalam sampai mataku terpejam dan terasa ikut mengalir bersama aliran
darahku, tak ingin ku buang percuma, karena aromanya hanya bisa tercium
beberapa menit saja. Saat ku buka mata, tiba-tiba sensasi itu terpecah.
“Mas
aku numpang berteduh ya?”.
“Emmm,
silahkan mba”.
Mulai
saat itulah aku mengenal Zahra. Sama seperti namanya, ia pun menyukai bunga. Di
dalam ia tak hanya diam, tanpa basa-basi ia langsung melihat seisi tokoku yang
dipenuhi bunga. Ku pandangi wajahnya yang tersenyum kala mengenali bunga yang
ia lihat. Kemudian ia bergerak ke samping, ia mencium salah satu bunga yang
terkenal dengan wanginya. Saat itu pula senyumnya semakin merekah. Aku merasa
seperti telah mengenalnya. Hujan tidak hanya memberikan keberkahan pada tumbuhan,
ia juga memperkenalkanku kepada seorang wanita. Zahra.
Penghasilan
sebagai penjual bunga dan pelukis memang tak pernah menentu. Kala ada banyak event yang dibarengi dengan kata “conguralation atau selamat atas....” pengahasilanku
bisa lebih, begitu juga ketika ada banyak kematian. Kalau dari jasa melukis,
ini tergantung karya lukis yang ku buat, aku tidak mematok harga, hanya ku
jelaskan lukisan ini mengahabiskan cat sekian, kanvas sekian, selebihnya bayar
sesuai dengan kepuasan sang konsumen. Karena bagiku kepuasan itu variatif belum
tentu bagiku dan belum tentu juga bagi mereka. Usaha inilah yang bisa membuatku
hidup dari hari ke hari. Merangkai bunga bagiku sama saja dengan merangkai masa
depan, melukis bagiku sama saja memberi keindahan pada kehidupan apalagi
keindahan itu dilengkapi dengan hadirnya Zahra. Aku bisa menyuguhkan kreasiku
dengan penuh rasa sehingga para konsumen senang dan puas.
Kami
tak banyak bertemu hanya sekali dalam seminggu, ia bekerja dan aku pun bekerja.
Dan setiap kali bertemu aku selalu berusaha agar pertemuan itu menjadi
pertemuan yang indah untuk dikenang, menjadi pertemuan yang tidak percuma
karena jika melewatkannya aku harus menunggu lagi minggu depan.
Sudah
setahun ini kami menjalin hubungan, kami sudah saling mengenal ia juga sudah ku
kenalkan ke orang tua ku dan teman-teman dekatku. Kesan yang mereka ungkapkan
padaku selalu hal yang menyejukkan hati “Kalian berdua cocok” kata ibuku.
“Pacar lo baik orangnya” kata temanku. Akupun semakin yakin bahwa kebahagiaanku
di masa depan adalah bersamanya. Semakin dalam cintaku pada Zahra ia pun selalu
berbisik dengan suaranya yang lembut “Don’t leave me”.
Dan ketika itu terdengar aku semakin yakin ia membutuhkanku untuk selalu
bersamanya.
Ditahun
kedua kami semakin lebih dekat lagi. Kami sudah banyak membahas hal yang
sebelumnya belum kami bahas, tentang pernikahan dan masa depan. Aku merasa ada
yang kurang jikalau pembahasan tentang pernikahan sudah jauh kemana tapi ia
sama sekali belum pernah memperkenalkanku dengan orang tuanya. Suatu saat aku
memintanya untuk memperkenalkanku dengan orang tuanya yang tinggal di Bandung.
Ia hanya merespon “Belum saatnya”. Akupun mengurung niatku agar tidak terkesan
memaksa.
Tahun
ketiga orang tuaku dan teman-temanku sudah mulai menyindir “Kapan lo nikah?”
kata temanku, sedangkan orang tuaku “Duh, kapan ya ibu gendong cucu”. Aku hanya
tersenyum meresponnya karena akupun tidak tahu kapan. Disela-sela obrolan
antara aku dan Zahra, aku kembali menanyakan kapan ia akan memperkenalkanku
dengan orang tuanya. “Kalau sudah saatnya, aku pasti memperkenalkanmu dengan
orang tuaku”. Jawabnya. Kembali ku urung keinginan itu, ku anggap Zahra
mempunyai niat yang baik mengapa ia belum mau memperkenalkanku dengan orang
tuanya.
Ditahun
ke empat, inilah tahun yang merubah segalanya. Zahra naik pangkat ia menduduki
posisi yang strategis di kantornya. Lambat laun gaya hidupnya mulai berubah, ia
sudah mulai jenuh jika ku ajak jalan ke taman bunga atau tempat-tempat yang
terbuka, ia lebih suka jika kami bertemu di mall atau cafe. Obrolan
kami yang dulu selalu nyambung, kini banyak obrolan yang berhenti mendadak
hanya karena aku tidak paham. Ia pun terlihat selalu sibuk sendiri meladeni chat, twitter, fb, BBM atau apalah itu, ketimbang saling
berbalas kata, senyum dan tatapan mata. Selang berapa bulan ia sudah
mengendarai mobil pribadi, niat untuk membeli rumah pun terkabul, ia sudah
tidak lagi tinggal di kosan. Sedangkan aku masih seperti aku yang dulu, kios
bungaku belum ku renovasi apalagi ku bangun menjadi tiga tingkat, motor Vespa
tuaku belum berubah menjadi Ducati atau menjadi sedan mulus yang setiap orang
bisa mengaca. Meski ku sadari itu, tapi aku tetap ingin mengangap Zahra kini, sama
dengan Zahra yang dulu, yang lugu, sederhana, penyayang, yang selalu bisa
membuatku seperti manusia super yang bisa melakukan apapun kala ia minta.
Sehari
setelah aku bertemu dengan orang tuanya, pikiranku mulai kusut.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang tuanya membuat ku berpikir mengapa
kebahagiaan menjadi begitu sempit dan rumit. “Penghasilan kamu berapa
sebulan?”. “Apa cukup hanya dengan menjual bunga dan melukis memenuhi kebutuhan
setelah nikah nanti?”. “Kami sebagai orang tua, inginnya acara pernikahan
diadakan di gedung”. Aku akui semua itu untuk kebaikan, selama dua puluh lima
tahun mereka mengasuh Zahra dan segala kebaikan seluruhnya diberikan padanya.
Namun, saat ini aku masih belum bisa memenuhi kriteria itu. Untuk memastikan berapa
jumlah uang yang sebenarnya dibutuhkan untuk memenuhi kretia tersebut aku minta
pendapat dari beberapa teman dekatku.
“Kalau
di gedung kira-kira lima puluhan,
belum embel-embelnya kayak kado seserahan, mas kawin, transport dan konsumsi” jawab temanku.
“Ya, tujuh puluh-lah”.
Beberapa
hari kemudian ku coba melobi Zahra agar kriteria itu sedikit diturunkan atau
kita patungan untuk memenuhi itu semua, ia hanya tersenyum dan berkata “Ayo,
kamu pasti bisa”.
Ku
pacu roda usahaku tak kenal waktu, pesanan sejauh apapun dan lukisan serumit
apapunku ladeni. Jam kerjaku yang biasanya hanya delapan jam, kini bertambah
menjadi enam belas jam. Dalam benakku hanya ada angka yang berjumlah seratus
lima puluh, seratus lima puluh, seratus lima puluh, seratus lima puluh, dan
seratus lima puluh.
Sudah
tiga bulan kegilaan ini ku kerjakan, rupiah demi rupiah sudah terkumpul namun
belum mencapai hasil yang ku targetkan dan selama itu pula waktuku bersama
Zahra pun berkurang namun komunikasi lewat Hp tidak pernah putus. Ku ajak ia
bertemu, ku ceritakan apa yang sudah ku lakukan dan ku dapat selama tiga bulan
terakhir ini. Di sela-sela obrolan kami, tiba-tiba Hp milik Zahra berdering, ia
meminta ijin untuk berbicara di tempat lain. Ia pun berpaling ke ruang yang
lain, namun tingkahnya membuatku aneh, sudah sekian tahun aku bersamanya belum
pernah ia meminta ijin untuk berbicara secara private entah itu dari teman kerjanya,
atasannya ataupun sahabatnya. Setelah pertemuan itu aku berpikir, sedikitpun
tidak ada yang berubah dari dirinya kata-kata manisnya dan bahasa tubuhnya
kecuali prilakunya saat menerima telepon tadi.
Kembali
ku pacu roda usahaku siang dan malam yang ada dalam benakku hanya ada angka
sejumlah tujuh puluh, tujuh puluh, tujuh puluh, tujuh puluh, tujuh puluh dan
tujuh puluh. Namun semakin lama ku jalani kegilaan ini aku berfikir, apa
mungkin Zahra sedang dekat dengan lelaki lain, karena selama tiga bulan ini
tidak banyak kami bertemu. Rasa penasaran itu pun menggugahku untuk mencari
tahu apa yang sebenarnya terjadi. Diam-diam ku selidiki apa yang dilakukan
Zahra kala jam-jam istirahatnya dan waktu pulang kerja. Ku selidiki apa yang ia
lakukan saat tidak bisa bertemu di hari libur. Akhirnya kebenaran itu pun
hinggap di atap kiosku saat rintik hujan mengguyuri bumi. Seorang lelaki yang
masih terlihat rapih mampir ke kiosku, baju kemejanya masih masuk didalam
celananya, dasi merahnya masih menggantung rapih di kerah bajunya, dengan
sepatu kulit yang terlihat kinclong dan kalau melangkah terdengar
“ceplak-ceplok”, kulitnya bersih, rambutnya rapih, tidak kalah dengan sedan
miliknya yang ia parkir di depan kiosku.
“Mas
bisa pesan bunga untuk pacar saya, hari ini dia ulang tahun”. Pesannya sambil
duduk di bangku.
“Contohnya?”.
Ia terlihat bingun, kemudian ia mencari contoh yang sudah ku sediakan. Namun
matanya tertuju pada rangkaian bunga yang berada di atas meja.
“Nah,
seperti ini mas”. Pintanya.
“Owh
yang itu”. Aku sedikit ragu. Kemudian.
“Sebenarnya
ini punya saya mas, hari ini pacar saya juga ulang tahun”. Jawabku.
“Wah,
sama dong. Ternyata kita punya selera yang sama”. Aku tersenyum begitu pun dia.
Ia
memutuskan untuk menunggu, obrolan kami pun mulai terjalin. Ternyata ia pun
bekerja tidak jauh dari sini. Ku rangkai bunga yang ia pesan sepenuh hati sama
dengan ketika ku merangkainya untuk Zahra, ku padukan hasratnya dan
keinginannya sama sepertiku. Ku posisikan diriku sepertinya yang ingin
memberikan hadiah terindah untuk kekasih yang selalu dipuja. Sejam berlalu dan
selesai pulalah bunga yang ku rangkai. Ia terlihat begitu puas, berkali-kali
mengeleng-gelengkan kepalanya. Sinar matanya pun mengisyratkan bahwa pacarnya
akan sangat senang bila menerimanya. Kemudian.
“Wah, perfect mas”.
“Untuk
seseorang yang special”. Jawabku sambil memberikan bunga tersebut.
“Berapa?”.
“Bayar
sesuai kepuasan mas aja”. Pintaku. Ia mengerutkan alisnya aneh. Kemudian ia
mengeluarkan beberapa lembaran uang warna merah.
“Segini
cukup”.
“Terserah”.
Jawabku. Ia pun memberikan sejumlah uang tersebut padaku. Setelah berjabat
tangan ia pun memperkenalkan dirinya.
“Bayu”.
“Titra”.
Kemudian
ia lari mengindari hujan masuk ke dalam mobil, aku langsung menghitung jumlah
uang yang ia berikan. Aku tersenyum menghitungnya.
“Andai
ada sepuluh orang sepertinya membeli bunga di tempatku mungkin bulan depan aku
sudah bisa meminang Zahra”. Celetukku dalam hati. Tiba-tiba.
“Mas,
kartu ucapannya lupa”. Ia turun dan menghampiriku.
“Kartu
ucapannya sekalian mas”. Ku ambil kartu ucapan di laci meja beserta pena tinta
yang memang sudah ku sediakan. Kemudian ku berikan padanya.
“Mas
saja yang tulis, tulisan saya jelek”. Ia tersenyum sambil mengelap wajahnya
yang basah.
“HAPPY BIRTHDAY
ZAHRA”
_I LOVE YOU_
# # # #
Di
taman Kodok kami bertemu, sejam berlalu tidak ada satupun kata terucap dari
mulut-mulut yang kaku karena sulit untuk memulainya. Sejak kedatangannya hanya
sekali ku berikan senyuman setelah itu pandanganku selalu berpaling ke arah
yang bisa menenangkan hatiku. Begitupun Zahra ia diam membisu, beberapa kali
Hpnya bunyi ia abaikan. Suasana sore habis hujan yang biasanya membuat hatiku
senang, kini berbeda. Ketika tetes air jatuh ke tanah dari dahan pohon kemudian
angin membuatnya bergoyang bisa membutku tersenyum, kini tidak. Tiba-tiba isak
tangis memecah kebekuan.
# # # #
Ku
lihat wajahnya memerah begitupun hidungnya. Air matanya mulai berlinang,
sebentar lagi ia akan menangis. Detak jantungnya berdetak kencang, begitulah
yang mulai aku rasakan. Perubahan di wajahnya tak dapat ku palingkan karena ia
berada tepat di depanku. Ia tak berucap apapun, hanya larut dalam kesedihannya.
Seperti ada hal yang ia pendam di balik senyumnya yang selama ini membuat
hatiku tenang. Aku merasa kecolongan, ia mahir membuatku nyaman sedangkan
hatinya yang gundah pun aku tak menyadarinya. Kemudian ia berkata “Aku hanya
merasa aku tidak akan bahagia jika hidup bersamamu”.
Fikry
Waingapu,
06-April-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar