Kamis, 18 April 2013

ZAHRA




 Ku lihat wajahnya memerah begitupun hidungnya. Air matanya mulai berlinang, sebentar lagi ia akan menangis. Detak jantungnya berdetak kencang, begitulah yang mulai aku rasakan. Perubahan di wajahnya tak dapat ku palingkan karena ia berada tepat di depanku. Ia tak berucap apapun, hanya larut dalam kesedihan. Seperti ada hal yang ia pendam di balik senyumnya yang selama ini membuat hatiku tenang. Aku merasa kecolongan, ia mahir membuatku nyaman sedangkan hatinya yang gundah pun, aku tak menyadarinya. Kemudian ia berkata “..........

# # # #

Memang dahulu aku pernah menjadi kekasihnya, menjadi rindunya, menjadi mimpinya. Setiap waktu yang ku lalui terasa cepat jika bersamanya, namun sebaliknya jika tak bersama dengannya setiap detik berlalu terasa sangat lama. Tak ada yang ku tunggu kala weekend tiba selain mengajak jalan atau hanya sekedar ngobrol. Berbalas senyum, saling bertatapan, bercerita tentang keindahan dan keajaiban kemudian mengakhirinya dengan saling bercumbu dan “mimpi indah”. Melihat tulisan “Zahra calling” atau “1 massagge from Zahra” di Hpku adalah sebuah surprise, apalagi jika suaranya yang lembut masuk ke telingaku kemudian menggema dalam tubuh dan menetap di dalam hati dampaknya akan sangat lama, aku bisa seperti orang gila senyum tanpa sebab. Namun, mengapa harus ada kata ‘namun’ untuk meneruskan cerita ini aku baru saja memulainya mengapa tidak diganti dengan kata ‘kemudian’ atau ‘lalu’.  

Lukisan indah itu pun hancur oleh cat hitam yang tumpah, tak layak tuk dilihat apalagi untuk ditunjukkan. Aku pun merasa seperti orang gila, sering menyendiri, melamun layaknya patung yang sudah retak dan berlumut, pergi tanpa tujuan hanya untuk diam, tak bisa menangis  hanya bisa berteriak itupun dalam hati.
Saat yang ia butuhkan sebuah kepastian, aku belum bisa memberikan, lebih jelasnya kehidupan yang pasti, kehidupan layak seperti ‘orang-orang’. Aku masih mencari arti hidup, membangun kehidupan yang lebih baik sedikit demi sedikit. Sedangkan lelaki yang ia sebut. Ia sudah mapan, berpredikat dan kelihatannya berpangkat. Untuk kehidupan yang lebih bahagia baginya, aku pun mengalah tanpa perlawanan. Seperti itulah bentuk rasa sayangku padanya. Aku tahu diri. 

Ia pun memutus komunikasi, dengan alasan yang memang tepat “Aku sudah milik seseorang”. Saat itu pula, lukisan yang ku kerjakan dengan penuh rasa, rindu, fantasi, imajinasi dan harapan terhenti dan segala rencana yang akan ku kerjakan untuknya beterbangan dari benakku seperti kapas terbawa angin. Tidak ada kesempatan, apalagi perasaan, padahal aku sedang semangat-semangatnya menunjukkan padanya bahwa aku bisa lebih baik darinya.

Aku masih terus mencoba menghubunginya, namun nomor Hpnya tidak aktif. Sepertinya ia ganti nomor. Sedikit demi sedikit aku mulai menjalini kenyataan ini walau setiap malam bayangnya selalu ada, mengusik kekosonganku dan tidurku. Aku anggap itu hal yang biasa terjadi. Karena aku akui ia adalah cintaku yang paling sejati. Namun seketika senyumku merekah, kala itu pula aku berfikir “Dia tidak sejati karena yang sejati selalu ada seperti Sang Pemilik Hati yang selalu ada”.

Berita tentang pertunangannya ku dapat dari teman lamaku. Ia memperlihatkan foto-fotonya padaku. Ia juga bercerita jumlah hadiah dan kadar emas yang menjadi mas kawin nanti. Walau senyum yang ku ekspresikan padanya, namun hati ini terasa terbakar. Aku telat membuktikan kerja kerasku. Aku tak dapat menghentikan rencana itu karena saat ini, tidak ada banyak perubahan pada diriku. Tidak ada yang bisa aku banggakan padanya.

Sudah dua bulan lamanya, setelah berita pertunangan itu ku dengar, namun belum ada berita kapan pernikahannya dilaksanakan. Apakah acara itu sengaja disembunyikan dariku atau tidak lama acara pertunangannya ia langsung menikah. Aku tak tahu pastinya. Kadang aku membodohi diriku sendiri, mengapa aku terus dibayangi apa yang akan terjadi lagi padanya, padahal aku sudah tahu bahwa aku tak akan bisa merubah jalan takdir yang sudah mendekati kenyataan. Namun aku masih berharap dari jutaan harapku ada satu atau mungkin setengah yang akan benar-benar terjadi. Dosakah aku jika ku berfikir seperti itu.

# # # #

Setiap hari aku mengantarkan bunga pesanan pelangganku. Memang usaha ini sudah ku bangun kurang lebih lima tahun yang lalu. Ada dua maksud mereka memesan bunga padaku; pertama untuk sesuatu yang membahagiakan dan kedua; untuk sesuatu yang menyedihkan. Aku pun harus pintar-pintar merangkainya sesuai tema dari keduanya. Kadang aku berfikir, mengapa harus bunga yang menjadi simbol untuk dua hal yang bertolak belakang. Mengapa kesedihan tidak disimbolkan dengan bunga kering, karena hal yang kering berarti mati dan putus segala  harapan. Namun aku tak bisa menerapkan apa yang ada dipikiranku, karena aku harus tetap memenuhi keinginan setiap pelanggan yang datang dan kebiasaan yang sudah lama berjalan.

 Gerimis mulai turun membasahi semua yang kering, tak lama tercium aroma tanah yang melekat di jalan. Bagiku ini adalah saat yang benar-benar ku tunggu kala hujan turun, karena aku bisa mencium sesuatu yang bisa membuat tanaman menjadi subur. Khususnya untuk bunga yang ku tanam sebagai penghasilanku. Ku hirup aromanya dalam-dalam sampai mataku terpejam dan terasa ikut mengalir bersama aliran darahku, tak ingin ku buang percuma, karena aromanya hanya bisa tercium beberapa menit saja. Saat ku buka mata, tiba-tiba sensasi itu terpecah.

“Mas aku numpang berteduh ya?”.

“Emmm, silahkan mba”. 

Mulai saat itulah aku mengenal Zahra. Sama seperti namanya, ia pun menyukai bunga. Di dalam ia tak hanya diam, tanpa basa-basi ia langsung melihat seisi tokoku yang dipenuhi bunga. Ku pandangi wajahnya yang tersenyum kala mengenali bunga yang ia lihat. Kemudian ia bergerak ke samping, ia mencium salah satu bunga yang terkenal dengan wanginya. Saat itu pula senyumnya semakin merekah. Aku merasa seperti telah mengenalnya. Hujan tidak hanya memberikan keberkahan pada tumbuhan, ia juga memperkenalkanku kepada seorang wanita. Zahra.

Penghasilan sebagai penjual bunga dan pelukis memang tak pernah menentu. Kala ada banyak event yang dibarengi dengan kata “conguralation atau selamat atas....” pengahasilanku bisa lebih, begitu juga ketika ada banyak kematian. Kalau dari jasa melukis, ini tergantung karya lukis yang ku buat, aku tidak mematok harga, hanya ku jelaskan lukisan ini mengahabiskan cat sekian, kanvas sekian, selebihnya bayar sesuai dengan kepuasan sang konsumen. Karena bagiku kepuasan itu variatif belum tentu bagiku dan belum tentu juga bagi mereka. Usaha inilah yang bisa membuatku hidup dari hari ke hari. Merangkai bunga bagiku sama saja dengan merangkai masa depan, melukis bagiku sama saja memberi keindahan pada kehidupan apalagi keindahan itu dilengkapi dengan hadirnya Zahra. Aku bisa menyuguhkan kreasiku dengan penuh rasa sehingga para konsumen senang dan puas.
   
Kami tak banyak bertemu hanya sekali dalam seminggu, ia bekerja dan aku pun bekerja. Dan setiap kali bertemu aku selalu berusaha agar pertemuan itu menjadi pertemuan yang indah untuk dikenang, menjadi pertemuan yang tidak percuma karena jika melewatkannya aku harus menunggu lagi minggu depan.
Sudah setahun ini kami menjalin hubungan, kami sudah saling mengenal ia juga sudah ku kenalkan ke orang tua ku dan teman-teman dekatku. Kesan yang mereka ungkapkan padaku selalu hal yang menyejukkan hati “Kalian berdua cocok” kata ibuku. “Pacar lo baik orangnya” kata temanku. Akupun semakin yakin bahwa kebahagiaanku di masa depan adalah bersamanya. Semakin dalam cintaku pada Zahra ia pun selalu berbisik dengan suaranya yang lembut “Don’t leave me”. Dan ketika itu terdengar aku semakin yakin ia membutuhkanku untuk selalu bersamanya.

Ditahun kedua kami semakin lebih dekat lagi. Kami sudah banyak membahas hal yang sebelumnya belum kami bahas, tentang pernikahan dan masa depan. Aku merasa ada yang kurang jikalau pembahasan tentang pernikahan sudah jauh kemana tapi ia sama sekali belum pernah memperkenalkanku dengan orang tuanya. Suatu saat aku memintanya untuk memperkenalkanku dengan orang tuanya yang tinggal di Bandung. Ia hanya merespon “Belum saatnya”. Akupun mengurung niatku agar tidak terkesan memaksa.

Tahun ketiga orang tuaku dan teman-temanku sudah mulai menyindir “Kapan lo nikah?” kata temanku, sedangkan orang tuaku “Duh, kapan ya ibu gendong cucu”. Aku hanya tersenyum meresponnya karena akupun tidak tahu kapan. Disela-sela obrolan antara aku dan Zahra, aku kembali menanyakan kapan ia akan memperkenalkanku dengan orang tuanya. “Kalau sudah saatnya, aku pasti memperkenalkanmu dengan orang tuaku”. Jawabnya. Kembali ku urung keinginan itu, ku anggap Zahra mempunyai niat yang baik mengapa ia belum mau memperkenalkanku dengan orang tuanya.

Ditahun ke empat, inilah tahun yang merubah segalanya. Zahra naik pangkat ia menduduki posisi yang strategis di kantornya. Lambat laun gaya hidupnya mulai berubah, ia sudah mulai jenuh jika ku ajak jalan ke taman bunga atau tempat-tempat yang terbuka, ia lebih suka jika kami bertemu di mall atau cafe. Obrolan kami yang dulu selalu nyambung, kini banyak obrolan yang berhenti mendadak hanya karena aku tidak paham. Ia pun terlihat selalu sibuk sendiri meladeni chat, twitter, fb, BBM atau apalah itu, ketimbang saling berbalas kata, senyum dan tatapan mata. Selang berapa bulan ia sudah mengendarai mobil pribadi, niat untuk membeli rumah pun terkabul, ia sudah tidak lagi tinggal di kosan. Sedangkan aku masih seperti aku yang dulu, kios bungaku belum ku renovasi apalagi ku bangun menjadi tiga tingkat, motor Vespa tuaku belum berubah menjadi Ducati atau menjadi sedan mulus yang setiap orang bisa mengaca. Meski ku sadari itu, tapi aku tetap ingin mengangap Zahra kini, sama dengan Zahra yang dulu, yang lugu, sederhana, penyayang, yang selalu bisa membuatku seperti manusia super yang bisa melakukan apapun kala ia minta.

Sehari setelah aku bertemu dengan orang tuanya, pikiranku mulai kusut. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang tuanya membuat ku berpikir mengapa kebahagiaan menjadi begitu sempit dan rumit. “Penghasilan kamu berapa sebulan?”. “Apa cukup hanya dengan menjual bunga dan melukis memenuhi kebutuhan setelah nikah nanti?”. “Kami sebagai orang tua, inginnya acara pernikahan diadakan di gedung”. Aku akui semua itu untuk kebaikan, selama dua puluh lima tahun mereka mengasuh Zahra dan segala kebaikan seluruhnya diberikan padanya. Namun, saat ini aku masih belum bisa memenuhi kriteria itu. Untuk memastikan berapa jumlah uang yang sebenarnya dibutuhkan untuk memenuhi kretia tersebut aku minta pendapat dari beberapa teman dekatku.

“Kalau di gedung kira-kira lima puluhan, belum embel-embelnya kayak kado seserahan, mas kawin, transport dan konsumsi” jawab temanku.

“Ya, tujuh puluh-lah”.

Beberapa hari kemudian ku coba melobi Zahra agar kriteria itu sedikit diturunkan atau kita patungan untuk memenuhi itu semua, ia hanya tersenyum dan berkata “Ayo, kamu pasti bisa”.

Ku pacu roda usahaku tak kenal waktu, pesanan sejauh apapun dan lukisan serumit apapunku ladeni. Jam kerjaku yang biasanya hanya delapan jam, kini bertambah menjadi enam belas jam. Dalam benakku hanya ada angka yang berjumlah seratus lima puluh, seratus lima puluh, seratus lima puluh, seratus lima puluh, dan seratus lima puluh. 

Sudah tiga bulan kegilaan ini ku kerjakan, rupiah demi rupiah sudah terkumpul namun belum mencapai hasil yang ku targetkan dan selama itu pula waktuku bersama Zahra pun berkurang namun komunikasi lewat Hp tidak pernah putus. Ku ajak ia bertemu, ku ceritakan apa yang sudah ku lakukan dan ku dapat selama tiga bulan terakhir ini. Di sela-sela obrolan kami, tiba-tiba Hp milik Zahra berdering, ia meminta ijin untuk berbicara di tempat lain. Ia pun berpaling ke ruang yang lain, namun tingkahnya membuatku aneh, sudah sekian tahun aku bersamanya belum pernah ia meminta ijin untuk berbicara secara private entah itu dari teman kerjanya, atasannya ataupun sahabatnya. Setelah pertemuan itu aku berpikir, sedikitpun tidak ada yang berubah dari dirinya kata-kata manisnya dan bahasa tubuhnya kecuali prilakunya saat menerima telepon tadi.

Kembali ku pacu roda usahaku siang dan malam yang ada dalam benakku hanya ada angka sejumlah tujuh puluh, tujuh puluh, tujuh puluh, tujuh puluh, tujuh puluh dan tujuh puluh. Namun semakin lama ku jalani kegilaan ini aku berfikir, apa mungkin Zahra sedang dekat dengan lelaki lain, karena selama tiga bulan ini tidak banyak kami bertemu. Rasa penasaran itu pun menggugahku untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Diam-diam ku selidiki apa yang dilakukan Zahra kala jam-jam istirahatnya dan waktu pulang kerja. Ku selidiki apa yang ia lakukan saat tidak bisa bertemu di hari libur. Akhirnya kebenaran itu pun hinggap di atap kiosku saat rintik hujan mengguyuri bumi. Seorang lelaki yang masih terlihat rapih mampir ke kiosku, baju kemejanya masih masuk didalam celananya, dasi merahnya masih menggantung rapih di kerah bajunya, dengan sepatu kulit yang terlihat kinclong dan kalau melangkah terdengar “ceplak-ceplok”, kulitnya bersih, rambutnya rapih, tidak kalah dengan sedan miliknya yang ia parkir di depan kiosku. 

“Mas bisa pesan bunga untuk pacar saya, hari ini dia ulang tahun”. Pesannya sambil duduk di bangku.
            
“Contohnya?”. Ia terlihat bingun, kemudian ia mencari contoh yang sudah ku sediakan. Namun matanya tertuju pada rangkaian bunga yang berada di atas meja.

“Nah, seperti ini mas”. Pintanya.

“Owh yang itu”. Aku sedikit ragu. Kemudian.

“Sebenarnya ini punya saya mas, hari ini pacar saya juga ulang tahun”. Jawabku.

“Wah, sama dong. Ternyata kita punya selera yang sama”. Aku tersenyum begitu pun dia.

Ia memutuskan untuk menunggu, obrolan kami pun mulai terjalin. Ternyata ia pun bekerja tidak jauh dari sini. Ku rangkai bunga yang ia pesan sepenuh hati sama dengan ketika ku merangkainya untuk Zahra, ku padukan hasratnya dan keinginannya sama sepertiku. Ku posisikan diriku sepertinya yang ingin memberikan hadiah terindah untuk kekasih yang selalu dipuja. Sejam berlalu dan selesai pulalah bunga yang ku rangkai. Ia terlihat begitu puas, berkali-kali mengeleng-gelengkan kepalanya. Sinar matanya pun mengisyratkan bahwa pacarnya akan sangat senang bila menerimanya. Kemudian.

“Wah, perfect mas”.

“Untuk seseorang yang special”. Jawabku sambil memberikan bunga tersebut.

“Berapa?”.

“Bayar sesuai kepuasan mas aja”. Pintaku. Ia mengerutkan alisnya aneh. Kemudian ia mengeluarkan beberapa lembaran uang warna merah.

“Segini cukup”.

“Terserah”. Jawabku. Ia pun memberikan sejumlah uang tersebut padaku. Setelah berjabat tangan ia pun memperkenalkan dirinya.

“Bayu”.

“Titra”.
Kemudian ia lari mengindari hujan masuk ke dalam mobil, aku langsung menghitung jumlah uang yang ia berikan. Aku tersenyum menghitungnya.

“Andai ada sepuluh orang sepertinya membeli bunga di tempatku mungkin bulan depan aku sudah bisa meminang Zahra”. Celetukku dalam hati. Tiba-tiba.

“Mas, kartu ucapannya lupa”. Ia turun dan menghampiriku.

“Kartu ucapannya sekalian mas”. Ku ambil kartu ucapan di laci meja beserta pena tinta yang memang sudah ku sediakan. Kemudian ku berikan padanya.

“Mas saja yang tulis, tulisan saya jelek”. Ia tersenyum sambil mengelap wajahnya yang basah.

“HAPPY BIRTHDAY ZAHRA”
_I LOVE YOU_

# # # #

Di taman Kodok kami bertemu, sejam berlalu tidak ada satupun kata terucap dari mulut-mulut yang kaku karena sulit untuk memulainya. Sejak kedatangannya hanya sekali ku berikan senyuman setelah itu pandanganku selalu berpaling ke arah yang bisa menenangkan hatiku. Begitupun Zahra ia diam membisu, beberapa kali Hpnya bunyi ia abaikan. Suasana sore habis hujan yang biasanya membuat hatiku senang, kini berbeda. Ketika tetes air jatuh ke tanah dari dahan pohon kemudian angin membuatnya bergoyang bisa membutku tersenyum, kini tidak. Tiba-tiba isak tangis memecah kebekuan.

# # # #

Ku lihat wajahnya memerah begitupun hidungnya. Air matanya mulai berlinang, sebentar lagi ia akan menangis. Detak jantungnya berdetak kencang, begitulah yang mulai aku rasakan. Perubahan di wajahnya tak dapat ku palingkan karena ia berada tepat di depanku. Ia tak berucap apapun, hanya larut dalam kesedihannya. Seperti ada hal yang ia pendam di balik senyumnya yang selama ini membuat hatiku tenang. Aku merasa kecolongan, ia mahir membuatku nyaman sedangkan hatinya yang gundah pun aku tak menyadarinya. Kemudian ia berkata “Aku hanya merasa aku tidak akan bahagia jika hidup bersamamu”.

Fikry
Waingapu, 06-April-2013


              

               

     


  

  
      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar