Senja
sore mengiringi langkah kami berdua meninggalkan desa yang tidak mungkin kami
lupakan, bersama sahabat karibku, kami berniat mengadu nasib di Jakarta untuk mencari
pekerjaan yang lebih baik dan tentunya menghasilkan banyak uang. Rabu sore kala
rona mega menempel di dinding langit, kami berdua meninggalkan desa asal kami.
Rancah, desa paling ujung antara dua Kabupaten Ciamis dan Kuningan. Setiap
melangkahkan kaki menjauh dari desa maka kami akan selalu merindukan setiap
detik waktu di sana, kala matahari terbit menyisir kegelapan sampai rembulan
memuncak dan parkir mendengarkan suara-suara hati yang gelisah, begitupula lantunan
suling Mang Redi yang setiap sore mengiringi langkah kaki anak-anak kecil berangkat
mengaji di tajuk, suara langkah kaki kerbau yang digiring oleh Mang Juni ke
sungai untuk dimandikan dan yang paling sulit untuk tidak diingat adalah Dea,
kembang desa yang selalu ku bayangkan sebelum tidur.
Dengan
berjalan kaki kami butuh waktu 1 jam untuk sampai ke pangkalan ojek terdekat kemudian
berlanjut dengan naik elf untuk
sampai ke terminal. Kami harus menelusuri jalan setapak yang di apit sungai
kecil dan sawah kemudian sedikit mendaki dan turun lagi melewati lembah dari
sana perjalanan kami masih membutuhkan waktu tiga puluh menit lagi untuk sampai
kepangkalan ojek. Hujan tadi siang memaksa kami melepas sepatu, sedikit-sedikit
kami berpegangan pada akar pohon yang merambat pada batu karang, hujan membuat
jalan yang masih bercampur batu dan tanah menjadi licin. Suara katak saling
sahut-menyahut menyuarakan kegembiraan mereka mengiringi langkah kami,
begitupula suara jangkrik yang tak lelahnya berbunyi meramaikan waktu antara
sore menjelang malam.
“Jakarta, Jakarta”
suara knek bus terdengar lantang dari kejauhan walau kami baru saja turun dari
motor. Kami bersegera naik ke dalam, bus sudah dipenuhi oleh para penumpang,
kami hanya kebagian duduk di bangku paling belakang karena hanya itu yang
tersisa kosong. Karung-karung berisikan pakaian berjejer di belakang bangku
yang kami duduki atau lebih tepatnya di atas bagasi mesin. Kardus-kardus sebagai
wadah hasil perkebunan seperti pisang, salak, sampai pete ikut memenuhi bus, kebanyakan
dari mereka memang berprofesi sebagai pedagang.
Asap
rokok mengepul dari mulut-mulut yang sudah lama menunggu berangkatnya bus, terlihat sudah ada kegelisahan dari mereka
sebelum kami ada di dalam bus ini. Selang setengah jam ngetem, bus yang kami
tumpangi pun berangkat, lampu bagian tengah bus pun dimatikan yang tersisa
hanya bagian depan dan tengah membuat pencahayaan dalam bus semakin redup,
sepoi angin yang masuk dari jendela mulai terasa adem menyentuh wajah, kini tak
ada lagi pengap dan keringat yang mengucur.
Jalan
berkelok-kelok membuatku merasa diayun-ayun. Sopir yang terlihat sudah hafal
dengan rute jalur selatan pun terkesan enggan mengurangi kecepatannya. Aku langsung
melelapkan tubuh yang lelah begitu pun temanku ia sudah lebih dulu tertidur.
Ya, tadi sore kami baru saja menyelesaikan pekerjaan terakhir kami sebagai
penebang pohon, itulah pekerjaan kami selama ini, upah yang hanya sebesar
sepuluh ribu rupiah perhari membuat kami tak bisa menyisihkannya untuk
menabung, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sedangkan suatu saat
nanti kebutuhan pasti akan terus bertambah apalagi ketika sudah berkeluarga.
Kami tak punya sawah, kebun tak punya, ternak pun kami tak punya, warisan orang
tua hanya berupa rumah dari bilik bambu yang sudah reot. Itulah alasan yang
memicu kami untuk pergi ke Ibu Kota mengadu nasib.
Aku
terbangun saat terdengar ada perdebatan antara dua orang, dengan setengah sadar
ku tengok kanan-kiri mencari sumber suara yang membangunkanku, ternyata suara
itu berasal antara sang knek yang terlihat sudah setengah baya dan seorang
pemuda yang sepertinya sepantaran dengan kami. Setelah ku perhatikan perdebatan
mereka ternyata bukan karena si pemuda tidak mau bayar tapi terdengar dari
percakapannya itu, lebih pada masalah pekerjaan.
“Rek
naon ka Jakarta
jang? mending gawe di lembur! Loba dulur, loba garapan di leweng!” ucapan sang
knek. Semuanya masuk ke dalam telingaku tak tersisa. Si pemuda itu pun tidak
mau kalah memaparkan niatnya yang sudah bulat untuk bekerja di Jakarta. Ia tak menghiraukan apa yang
dikatakan sang knek dan membalasnya dengan alasan-alasan yang sudah ada di
benaknya. Aku mulai menghilangkan rasa peduliku untuk mendengarkan percakapan
mereka berdua dan berusaha untuk tidur kembali.
# # #
# # #
Satu
minggu setelah kedatangan kami di Jakarta
tak ada satu pun pekerjaan yang kami dapatkan. Hanya luntang-lantung ke sana-sini
menanyakan apakah ada lowongan pekerjaan di sini, di sana, di pabrik itu atau di restoran itu. Jarang
sekali mereka yang kami tanya merespon dengan informasi lowongan kerja lain
yang dapat mencerahkan pikiran kami. Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala
tidak tahu. Senyum sebagi pelipur kesulitan kami pun jarang kami lihat dari
wajah yang kami tanya. Mereka malah mengerutkan alisnya seakan-akan senyum itu
tak berlaku bagi kami yang kesulitan, padahal di desaku senyum adalah sapaan
pertama yang diberikan, kenal atau pun tidak.
Waktu
sangat cepat berlalu begitupun uang sebagai bekal yang kami bawa dari desa
sebentar lagi lenyap tak berbekas. Kami berjalan menuju kontrakan. Hati kami
mulai hampa di tengah angin metropolitan, wajah kami kusut oleh carut-marut
kehidupan Ibu Kota dan pikiran tak tentu apa yang terpikirkan. Suasana baru
ini, setengahnya kami rasakan sebuah kekaguman. Kemegahan gedung-gedung yang
menjulang tinggi, lalu-lalang mobil-mobil mewah, dan gaya hidup yang kami lihat seperti apa yang
sering kami saksikan di TV. Namun setengah yang lain muncul sedikit keanehan
dan kebencian. Aneh sebuah Ibu Kota masih mengasuh kemiskinan, masih merawat
kekumuhan kami pun jadi benci Ibu Kota yang tidak murah senyum, benci Ibu Kota yang
mudah marah.
Hari
ini masih seperti hari-hari kemarin, belum ada pencerahan. Malam pun turun di
persinggahannya, lampu-lampu mulai menyala, panas yang membakar tubuh kami tadi
siang mulai terasa adem tapi tidak dengan hawa panasnya para pengguna jalan sedikit-sedikit
terdengar suara “Anjing!”, “Bangsat!”. Kalau di Desa, jam-jam segini kami
sedang istirahat. Asik menikmati kopi, rokok, singkong rebus dan menonton
sinetron kesayangan bersama teman-teman. Namun hari ini tak sehisap rokok kami
rasakan, tak seteguk kopi kami minum, tak sesuap nasi kami telan. Kami memutuskan
untuk membeli kopi dan dua batang rokok sebagai pengganti nasi. Di bawah
jembatan layang daerah Cawang kami menikmatinya. Tak sepatah kata keluar dari
bibir yang rindu dengan sentuhan nasi, hanya tangan yang bergerak mengarahkan
rokok ke mulut. Kami diam. Tiba-tiba datang menghampiri kami seorang bapak yang
jalan terpincang-pincang. Kakinya penuh koreng dan balutan perban yang melilit
di dengkulnya. Lama-lama ia mengahampiri kami dan terlihat ingin duduk sama
seperti kami. Spontan temanku membantunya duduk bersebelahan dengan tempat kami
duduk. Kemudian bapak itu membuka plastik yang berisikan uang dan memulai
menghitungnya. Sambil mencuri pandangannya kami melirik, bukan ke wajah bapak itu
tapi ke uang yang sedang ia hitung. Tiba-tiba.
“Seratus
tiga puluh dua ribu empat ratus” kata bapak itu dengan suara rendah.
Sudah
dua hari kami tidak lagi mencari pekerjaan. Karena sekarang kami sudah bekerja
yang hasilnya bisa cukup untuk makan tiga kali plus rokok dan kopi walau tidur
di bawah jembatan layang bersama orang-orang sepropesi. Hari demi hari kami
lewati dengan mengemis di lampu merah dari jam 10.00-20.00 malam. Walau jauh
dari apa yang kami impikan sebelum datang ke Kota ini, tapi kami sudah mulai enjoy istilah orang kota. Hidup mengemis
menaruh tangan di bawah, menunggu belas kasih seseorang. Mengetuk setiap
jendela mobil yang berhenti, berharap ada tangan yang keluar menyulurkan uang.
Nyawa kami tersambung dari uang-uang mereka. Tak peduli ikhlas atau tidak. Tak
peduli orang akan berkata apa yang penting nyawa kami tersambung paling tidak
untuk hari esok.
Suatu
ketika sekitar jam setengah dua. Saat aku sedang istirahat sejenak sambil menikmati
es ada pandangan yang memikat pengelihatanku. Sepasang mata mengincar mangsanya
memperhatikan setiap lekuk-lekuk kemewahan mobil yang berhenti kemudian indera
pencium mengendus bau yang menggiurkan liur. Ada yang masuk dalam incaran seperti seekor serigala
lapar yang mengintai mangsanya. Ku perhatikan dari tempatku berada temanku menghampiri
tubuh mobil yang memikat instingnya itu. Aku perhatikan setiap gerakan temanku
yang sedang beraksi, tak lebih dari semenit, temanku sudah mengepal uang dan
mobil itu pun kembali melaju. Entah berapa jumlahnya yang pasti ia
menghampiriku dengan wajah tersenyum. Aneh, selama kami pindah ke Ibu Kota baru
kali ini senyumnya begiku lepas. Keanehan itu pun ku abaikan paling karena ia
diberi uang dengan jumlah yang besar pikirku dalam hati.
Kami
kembali ke tempat tinggal kami dan langsung membagi penghasilan hari ini. Namun
keanehan itu terlihat nyata dari prilaku temanku, ia selalu senyum sendiri
tanpa sebab, kemudian melamun seakan lamunannya menembus realitas yang ia
jalani. Entah apa yang ia pikirkan aku belum sempat bertanya. Malam semakin
larut begitu pula mata yang sudah mulai mengerut. Namun temanku masih pada lamunannya
yang panjang cahaya bulan telah menghiptotisnya. Aku tak menghiraukannya,
kemudian mengambil kardus sebagai alas pengganti kasur dan merebahkan tubuhku.
Keesokkan
harinya saat aku ingin berangkat menuju tempat kerja. Ku lihat masih ada tubuh
yang berbaring, siapa lagi kalau bukan temanku yang semalaman begadang untuk
melamun. Aku mencoba membangunkannya mengajak ikut kerja bersamaku. Namun ia
menolak
“Hari
ini libur dulu ah! lagi males gw!” Aku pun tak memaksanya karena baru kali ini
ia mengambil cuti. Segera aku kembali ke tempat kerja takut kalau sepeser uang
yang seharusnya milikku diambil orang.
Sehari-dua
hari aku masih memaklumi tingkah temanku yang berubah drastis. Males-malesan
kerja. Namun kali ini aku tidak bisa lagi memakluminya, karena dari hasil yang
aku dapat harus dibagi dua dengannya, sesuai perjanjian awal. Dengan sedikit
kesal aku menghampirinya setelah pulang kerja. Ia masih berbaring di atas
kardus. “Bugh” aku pukul punggungnya dengan kencang. Tersentak ia terbangun dan
langsung duduk tak merespon apa pun teriak karena kesakitan tidak atau membalasnya
pun tidak. Kemudian ia berkata “gw sakit”.
# #
# #
“Duh,
Gusti ia jatuh cinta!” bukan permasalahan cinta yang bebas diberikan dan dijaga
tapi orang yang dicintai bukanlah orang yang wajar baginya. Tiga hari yang
lalu, ia menghampiri sedan hitam buatan Jerman, mobil mahal yang belum tentu
seumur hidup sampai kami mati dengan pekerjaan ini mampu membelinya. Sopir
mobil tersebut memberikan uang sebesar lima
ribu rupiah, jendela depan yang terbuka lebar memancing matanya melirik ke
bangku belakang. Ia terbius oleh senyuman yang menggelapkan matanya dari
seorang wanita yang ada di bangku belakang. Wanita itu seseorang yang sangat ia
kenal dan aku pun kenal, ia cantik berambut hitam, berkulit putih mulus dan
sempurna bagi orang seperti kami, sekali senyum saja bisa membuat temanku lupa
segalanya.
“Aing
yakin seyakin-yakinna! manehna bogoh ka aing, Den!” berkali-kali ia mengatakan
itu. Entah berapa dosis senyuman yang diberikan wanita itu, sehingga temanku
terbawa arus harapan panjang tak berarah. Bengong, berkhayal, lupa makan, lupa
tidur dan sekarang lupa akan kesehatannya sendiri. Keesokkannya aku bawa ia ke
rumah sakit. Demamnya meninggi dan terus mengigau memanggil-manggil nama wanita
itu. Temanku pengkhayal ulung dan pengidola sejati, tak luput perkataannya
kadang jauh tinggi dari kadar yang ia miliki. Namun ia polos lebih polos
dariku.
Dengan
susah payah aku mencari tempat tinggalnya, tempat ia nongkrong, dan tempat ia bekerja. Sampai suatu saat aku memperoleh
kabar kalau wanita itu sering nongkrong di sebuah cafe di daerah Kemang. Dari
pagi buta hingga sore kembali membuta ku menunggunya di depan cafe tersebut. Setelah
sekian lama menunggu akhirnya ciri-ciri mobil yang dijelaskan temanku datang
dan parkir. Wanita itu, aku harus menemui dan menceritakan apa yang terjadi dan
menimpa temanku kepadanya.
“Lo
siapa?”
“Saya
Deden”
“Ada
perlu apa?” sambil mengerutkan alisnya sinis. Teman-temannya mulai terlihat
risih dengan kehadiranku.
“Mba
inget orang yang tiga hari lalu mengemis di lampu merah daerah Cawang?” ia
semakin mengerutkan alisnya mencoba mengingat kejadian 3 hari yang lalu.
Tiba-tiba.
“Udah
jangan diladenin, dia cuma cari perhatian lo doang” celetuk temannya. Sadar
kalau celetukkan temannya akan memperkeruh rencanaku, akhirnya aku langsung
menjelaskannya. Setelah menjawab semua pertanyaannya mulai dari apa
pekerjaanku, dari mana asalku akhirnya ia pun bersedia datang menjenguk, itu
pun karena ku bilang temanku adalah fans beratnya dia. ia mengajak dua teman
sepekerjaanya. Aku membisu seribu bahasa di dalam mobil merasa tersindir dengan
perilaku temannya yang juga duduk di bangku belakang yang terus mengoceh dan
melihatku sinis dengan bahasa tubuh yang terkesan “lo gak pantes ada di mobil
ini”. Aku sadar posisi, aku merendah karena memang aku rendah bagi mereka.
# #
# # #
“Asal
lo tau, waktu di dalam mobil gw senyum ke lo bukan karena gw jatuh cinta sama
lo, tapi gw kasian! lo muda, lo juga gagah, tapi kenapa milih menjadi pengemis?
tau dirilah, Mas!”.
“Yuk
pulang buang waktu gw aja” lanjutnya sambil meninggalkan kami berdua.
Temanku
sedih menahan tangis meratapi nasibnya dan bayangan-bayangan cinta yang selama
ini ia bangun seketika itu pula roboh berpuing-puing, aku diam terpojok menghela
nafas dalam-dalam mencoba menerima kenyataan. Setelah terlihat agak mereda aku mencoba
meluruskan pandangan temanku. Keesokan harinya ia nekat pulang ke kampung meski
tertatih-tatih karena sakitnya belum sembuh total. Ia pulang membawa oleh-oleh yang
tak akan pernah ia lupakan. Sedikit ku berpikir, andai aku dan temanku sudah
mengenal kata “Anjing!” dan “Bangsat!” lebih awal mungkin tidak seperti ini
jadinya.
Aku
tetap memilih tinggal di sini. Satu hal yang tak pernah pula aku lupakan dari
perkataan wanita itu, aku muda dan aku gagah kenapa harus menjadi pengemis
padahal aku bisa memanfaatkan tenagaku untuk jadi kuli angkut barang atau knek tukang
bangunan sambil memanfaatkan waktu mudaku untuk menimba pengalaman dan arti
tujuan hidup yang sebenarnya. Ku langkahkan lagi kaki yang terhenti, mencoba
bersahabat dengan kehidupan Ibu Kota. Aku bangkit saat sinetron yang diperankan
wanita itu selesai.
Fikry
Ciputat, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar