Sabtu, 12 Januari 2013

Senyum di Balik Jendela




Senja sore mengiringi langkah kami berdua meninggalkan desa yang tidak mungkin kami lupakan, bersama sahabat karibku, kami berniat mengadu nasib di Jakarta untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dan tentunya menghasilkan banyak uang. Rabu sore kala rona mega menempel di dinding langit, kami berdua meninggalkan desa asal kami. Rancah, desa paling ujung antara dua Kabupaten Ciamis dan Kuningan. Setiap melangkahkan kaki menjauh dari desa maka kami akan selalu merindukan setiap detik waktu di sana, kala matahari terbit menyisir kegelapan sampai rembulan memuncak dan parkir mendengarkan suara-suara hati yang gelisah, begitupula lantunan suling Mang Redi yang setiap sore mengiringi langkah kaki anak-anak kecil berangkat mengaji di tajuk, suara langkah kaki kerbau yang digiring oleh Mang Juni ke sungai untuk dimandikan dan yang paling sulit untuk tidak diingat adalah Dea, kembang desa yang selalu ku bayangkan sebelum tidur.  

Dengan berjalan kaki kami butuh waktu 1 jam untuk sampai ke pangkalan ojek terdekat kemudian berlanjut dengan naik elf untuk sampai ke terminal. Kami harus menelusuri jalan setapak yang di apit sungai kecil dan sawah kemudian sedikit mendaki dan turun lagi melewati lembah dari sana perjalanan kami masih membutuhkan waktu tiga puluh menit lagi untuk sampai kepangkalan ojek. Hujan tadi siang memaksa kami melepas sepatu, sedikit-sedikit kami berpegangan pada akar pohon yang merambat pada batu karang, hujan membuat jalan yang masih bercampur batu dan tanah menjadi licin. Suara katak saling sahut-menyahut menyuarakan kegembiraan mereka mengiringi langkah kami, begitupula suara jangkrik yang tak lelahnya berbunyi meramaikan waktu antara sore menjelang malam.

“Jakarta, Jakarta” suara knek bus terdengar lantang dari kejauhan walau kami baru saja turun dari motor. Kami bersegera naik ke dalam, bus sudah dipenuhi oleh para penumpang, kami hanya kebagian duduk di bangku paling belakang karena hanya itu yang tersisa kosong. Karung-karung berisikan pakaian berjejer di belakang bangku yang kami duduki atau lebih tepatnya di atas bagasi mesin. Kardus-kardus sebagai wadah hasil perkebunan seperti pisang, salak, sampai pete ikut memenuhi bus, kebanyakan dari mereka memang berprofesi sebagai pedagang.
Asap rokok mengepul dari mulut-mulut yang sudah lama menunggu berangkatnya bus,  terlihat sudah ada kegelisahan dari mereka sebelum kami ada di dalam bus ini. Selang setengah jam ngetem, bus yang kami tumpangi pun berangkat, lampu bagian tengah bus pun dimatikan yang tersisa hanya bagian depan dan tengah membuat pencahayaan dalam bus semakin redup, sepoi angin yang masuk dari jendela mulai terasa adem menyentuh wajah, kini tak ada lagi pengap dan keringat yang mengucur.

Jalan berkelok-kelok membuatku merasa diayun-ayun. Sopir yang terlihat sudah hafal dengan rute jalur selatan pun terkesan enggan mengurangi kecepatannya. Aku langsung melelapkan tubuh yang lelah begitu pun temanku ia sudah lebih dulu tertidur. Ya, tadi sore kami baru saja menyelesaikan pekerjaan terakhir kami sebagai penebang pohon, itulah pekerjaan kami selama ini, upah yang hanya sebesar sepuluh ribu rupiah perhari membuat kami tak bisa menyisihkannya untuk menabung, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sedangkan suatu saat nanti kebutuhan pasti akan terus bertambah apalagi ketika sudah berkeluarga. Kami tak punya sawah, kebun tak punya, ternak pun kami tak punya, warisan orang tua hanya berupa rumah dari bilik bambu yang sudah reot. Itulah alasan yang memicu kami untuk pergi ke Ibu Kota mengadu nasib.  

Aku terbangun saat terdengar ada perdebatan antara dua orang, dengan setengah sadar ku tengok kanan-kiri mencari sumber suara yang membangunkanku, ternyata suara itu berasal antara sang knek yang terlihat sudah setengah baya dan seorang pemuda yang sepertinya sepantaran dengan kami. Setelah ku perhatikan perdebatan mereka ternyata bukan karena si pemuda tidak mau bayar tapi terdengar dari percakapannya itu, lebih pada masalah pekerjaan.

“Rek naon ka Jakarta jang? mending gawe di lembur! Loba dulur, loba garapan di leweng!” ucapan sang knek. Semuanya masuk ke dalam telingaku tak tersisa. Si pemuda itu pun tidak mau kalah memaparkan niatnya yang sudah bulat untuk bekerja di Jakarta. Ia tak menghiraukan apa yang dikatakan sang knek dan membalasnya dengan alasan-alasan yang sudah ada di benaknya. Aku mulai menghilangkan rasa peduliku untuk mendengarkan percakapan mereka berdua dan berusaha untuk tidur kembali.

# # #
Satu minggu setelah kedatangan kami di Jakarta tak ada satu pun pekerjaan yang kami dapatkan. Hanya luntang-lantung ke sana-sini menanyakan apakah ada lowongan pekerjaan di sini, di sana, di pabrik itu atau di restoran itu. Jarang sekali mereka yang kami tanya merespon dengan informasi lowongan kerja lain yang dapat mencerahkan pikiran kami. Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala tidak tahu. Senyum sebagi pelipur kesulitan kami pun jarang kami lihat dari wajah yang kami tanya. Mereka malah mengerutkan alisnya seakan-akan senyum itu tak berlaku bagi kami yang kesulitan, padahal di desaku senyum adalah sapaan pertama yang diberikan, kenal atau pun tidak.  

Waktu sangat cepat berlalu begitupun uang sebagai bekal yang kami bawa dari desa sebentar lagi lenyap tak berbekas. Kami berjalan menuju kontrakan. Hati kami mulai hampa di tengah angin metropolitan, wajah kami kusut oleh carut-marut kehidupan Ibu Kota dan pikiran tak tentu apa yang terpikirkan. Suasana baru ini, setengahnya kami rasakan sebuah kekaguman. Kemegahan gedung-gedung yang menjulang tinggi, lalu-lalang mobil-mobil mewah, dan gaya hidup yang kami lihat seperti apa yang sering kami saksikan di TV. Namun setengah yang lain muncul sedikit keanehan dan kebencian. Aneh sebuah Ibu Kota masih mengasuh kemiskinan, masih merawat kekumuhan kami pun jadi benci Ibu Kota yang tidak murah senyum, benci Ibu Kota yang mudah marah.   

Hari ini masih seperti hari-hari kemarin, belum ada pencerahan. Malam pun turun di persinggahannya, lampu-lampu mulai menyala, panas yang membakar tubuh kami tadi siang mulai terasa adem tapi tidak dengan hawa panasnya para pengguna jalan sedikit-sedikit terdengar suara “Anjing!”, “Bangsat!”. Kalau di Desa, jam-jam segini kami sedang istirahat. Asik menikmati kopi, rokok, singkong rebus dan menonton sinetron kesayangan bersama teman-teman. Namun hari ini tak sehisap rokok kami rasakan, tak seteguk kopi kami minum, tak sesuap nasi kami telan. Kami memutuskan untuk membeli kopi dan dua batang rokok sebagai pengganti nasi. Di bawah jembatan layang daerah Cawang kami menikmatinya. Tak sepatah kata keluar dari bibir yang rindu dengan sentuhan nasi, hanya tangan yang bergerak mengarahkan rokok ke mulut. Kami diam. Tiba-tiba datang menghampiri kami seorang bapak yang jalan terpincang-pincang. Kakinya penuh koreng dan balutan perban yang melilit di dengkulnya. Lama-lama ia mengahampiri kami dan terlihat ingin duduk sama seperti kami. Spontan temanku membantunya duduk bersebelahan dengan tempat kami duduk. Kemudian bapak itu membuka plastik yang berisikan uang dan memulai menghitungnya. Sambil mencuri pandangannya kami melirik, bukan ke wajah bapak itu tapi ke uang yang sedang ia hitung. Tiba-tiba.
“Seratus tiga puluh dua ribu empat ratus” kata bapak itu dengan suara rendah.
Sudah dua hari kami tidak lagi mencari pekerjaan. Karena sekarang kami sudah bekerja yang hasilnya bisa cukup untuk makan tiga kali plus rokok dan kopi walau tidur di bawah jembatan layang bersama orang-orang sepropesi. Hari demi hari kami lewati dengan mengemis di lampu merah dari jam 10.00-20.00 malam. Walau jauh dari apa yang kami impikan sebelum datang ke Kota ini, tapi kami sudah mulai enjoy istilah orang kota. Hidup mengemis menaruh tangan di bawah, menunggu belas kasih seseorang. Mengetuk setiap jendela mobil yang berhenti, berharap ada tangan yang keluar menyulurkan uang. Nyawa kami tersambung dari uang-uang mereka. Tak peduli ikhlas atau tidak. Tak peduli orang akan berkata apa yang penting nyawa kami tersambung paling tidak untuk hari esok.

Suatu ketika sekitar jam setengah dua. Saat aku sedang istirahat sejenak sambil menikmati es ada pandangan yang memikat pengelihatanku. Sepasang mata mengincar mangsanya memperhatikan setiap lekuk-lekuk kemewahan mobil yang berhenti kemudian indera pencium mengendus bau yang menggiurkan liur. Ada yang masuk dalam incaran seperti seekor serigala lapar yang mengintai mangsanya. Ku perhatikan dari tempatku berada temanku menghampiri tubuh mobil yang memikat instingnya itu. Aku perhatikan setiap gerakan temanku yang sedang beraksi, tak lebih dari semenit, temanku sudah mengepal uang dan mobil itu pun kembali melaju. Entah berapa jumlahnya yang pasti ia menghampiriku dengan wajah tersenyum. Aneh, selama kami pindah ke Ibu Kota baru kali ini senyumnya begiku lepas. Keanehan itu pun ku abaikan paling karena ia diberi uang dengan jumlah yang besar pikirku dalam hati.

Kami kembali ke tempat tinggal kami dan langsung membagi penghasilan hari ini. Namun keanehan itu terlihat nyata dari prilaku temanku, ia selalu senyum sendiri tanpa sebab, kemudian melamun seakan lamunannya menembus realitas yang ia jalani. Entah apa yang ia pikirkan aku belum sempat bertanya. Malam semakin larut begitu pula mata yang sudah mulai mengerut. Namun temanku masih pada lamunannya yang panjang cahaya bulan telah menghiptotisnya. Aku tak menghiraukannya, kemudian mengambil kardus sebagai alas pengganti kasur dan merebahkan tubuhku.

Keesokkan harinya saat aku ingin berangkat menuju tempat kerja. Ku lihat masih ada tubuh yang berbaring, siapa lagi kalau bukan temanku yang semalaman begadang untuk melamun. Aku mencoba membangunkannya mengajak ikut kerja bersamaku. Namun ia menolak
“Hari ini libur dulu ah! lagi males gw!” Aku pun tak memaksanya karena baru kali ini ia mengambil cuti. Segera aku kembali ke tempat kerja takut kalau sepeser uang yang seharusnya milikku diambil orang.  

Sehari-dua hari aku masih memaklumi tingkah temanku yang berubah drastis. Males-malesan kerja. Namun kali ini aku tidak bisa lagi memakluminya, karena dari hasil yang aku dapat harus dibagi dua dengannya, sesuai perjanjian awal. Dengan sedikit kesal aku menghampirinya setelah pulang kerja. Ia masih berbaring di atas kardus. “Bugh” aku pukul punggungnya dengan kencang. Tersentak ia terbangun dan langsung duduk tak merespon apa pun teriak karena kesakitan tidak atau membalasnya pun tidak. Kemudian ia berkata “gw sakit”.

# # # #

“Duh, Gusti ia jatuh cinta!” bukan permasalahan cinta yang bebas diberikan dan dijaga tapi orang yang dicintai bukanlah orang yang wajar baginya. Tiga hari yang lalu, ia menghampiri sedan hitam buatan Jerman, mobil mahal yang belum tentu seumur hidup sampai kami mati dengan pekerjaan ini mampu membelinya. Sopir mobil tersebut memberikan uang sebesar lima ribu rupiah, jendela depan yang terbuka lebar memancing matanya melirik ke bangku belakang. Ia terbius oleh senyuman yang menggelapkan matanya dari seorang wanita yang ada di bangku belakang. Wanita itu seseorang yang sangat ia kenal dan aku pun kenal, ia cantik berambut hitam, berkulit putih mulus dan sempurna bagi orang seperti kami, sekali senyum saja bisa membuat temanku lupa segalanya.
“Aing yakin seyakin-yakinna! manehna bogoh ka aing, Den!” berkali-kali ia mengatakan itu. Entah berapa dosis senyuman yang diberikan wanita itu, sehingga temanku terbawa arus harapan panjang tak berarah. Bengong, berkhayal, lupa makan, lupa tidur dan sekarang lupa akan kesehatannya sendiri. Keesokkannya aku bawa ia ke rumah sakit. Demamnya meninggi dan terus mengigau memanggil-manggil nama wanita itu. Temanku pengkhayal ulung dan pengidola sejati, tak luput perkataannya kadang jauh tinggi dari kadar yang ia miliki. Namun ia polos lebih polos dariku.     

Dengan susah payah aku mencari tempat tinggalnya, tempat ia nongkrong, dan tempat ia bekerja. Sampai suatu saat aku memperoleh kabar kalau wanita itu sering nongkrong di sebuah cafe di daerah Kemang. Dari pagi buta hingga sore kembali membuta ku menunggunya di depan cafe tersebut. Setelah sekian lama menunggu akhirnya ciri-ciri mobil yang dijelaskan temanku datang dan parkir. Wanita itu, aku harus menemui dan menceritakan apa yang terjadi dan menimpa temanku kepadanya.
“Lo siapa?”
“Saya Deden”
“Ada perlu apa?” sambil mengerutkan alisnya sinis. Teman-temannya mulai terlihat risih dengan kehadiranku.
“Mba inget orang yang tiga hari lalu mengemis di lampu merah daerah Cawang?” ia semakin mengerutkan alisnya mencoba mengingat kejadian 3 hari yang lalu. Tiba-tiba.
“Udah jangan diladenin, dia cuma cari perhatian lo doang” celetuk temannya. Sadar kalau celetukkan temannya akan memperkeruh rencanaku, akhirnya aku langsung menjelaskannya. Setelah menjawab semua pertanyaannya mulai dari apa pekerjaanku, dari mana asalku akhirnya ia pun bersedia datang menjenguk, itu pun karena ku bilang temanku adalah fans beratnya dia. ia mengajak dua teman sepekerjaanya. Aku membisu seribu bahasa di dalam mobil merasa tersindir dengan perilaku temannya yang juga duduk di bangku belakang yang terus mengoceh dan melihatku sinis dengan bahasa tubuh yang terkesan “lo gak pantes ada di mobil ini”. Aku sadar posisi, aku merendah karena memang aku rendah bagi mereka.

# # # # #

“Asal lo tau, waktu di dalam mobil gw senyum ke lo bukan karena gw jatuh cinta sama lo, tapi gw kasian! lo muda, lo juga gagah, tapi kenapa milih menjadi pengemis? tau dirilah, Mas!”.
“Yuk pulang buang waktu gw aja” lanjutnya sambil meninggalkan kami berdua.            
Temanku sedih menahan tangis meratapi nasibnya dan bayangan-bayangan cinta yang selama ini ia bangun seketika itu pula roboh berpuing-puing, aku diam terpojok menghela nafas dalam-dalam mencoba menerima kenyataan. Setelah terlihat agak mereda aku mencoba meluruskan pandangan temanku. Keesokan harinya ia nekat pulang ke kampung meski tertatih-tatih karena sakitnya belum sembuh total. Ia pulang membawa oleh-oleh yang tak akan pernah ia lupakan. Sedikit ku berpikir, andai aku dan temanku sudah mengenal kata “Anjing!” dan “Bangsat!” lebih awal mungkin tidak seperti ini jadinya.

Aku tetap memilih tinggal di sini. Satu hal yang tak pernah pula aku lupakan dari perkataan wanita itu, aku muda dan aku gagah kenapa harus menjadi pengemis padahal aku bisa memanfaatkan tenagaku untuk jadi kuli angkut barang atau knek tukang bangunan sambil memanfaatkan waktu mudaku untuk menimba pengalaman dan arti tujuan hidup yang sebenarnya. Ku langkahkan lagi kaki yang terhenti, mencoba bersahabat dengan kehidupan Ibu Kota. Aku bangkit saat sinetron yang diperankan wanita itu selesai.

Fikry
Ciputat, 2009



              
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar