Aku
bangga berada di dekatnya walau kadang orang melihat rendah profesinya.
Banyak waktu ia lewati duduk di atas kursi dengan badan
condong ke depan, mengarahkan laju jarum, mengayuh roda mesin dengan kedua
kakinya, pandangan terfokus pada kain. Dengan teliti ia ukur setiap inci kain
dan menggunting bagian-bagian yang tak perlu. Kemudian ia mulai menjahit bagian
baju sesuai dengan ukuran badan orang yang memesannya, dengan harapan orang
yang mengenakannya akan terlihat anggun dan berwibawa. Namun bukan hanya itu
yang terlihat dan terekam dalam benakku. Di balik itu semua, ia pun menjahit harapan
besar untuk masa depan anak-anaknya.
Bersama sinar bulan, banyak malam ia lewati hanya untuk
menyelesaikan pesanan. Tak ia hiraukan mimpi-mimpi indahnya, begitupun jam
istirahatnya. Entah sejak kapan ia mulai menekuni profesi ini. Seingatku, aku
pernah mendengar suara mesin jahit itu saat aku berada dalam kandungannya. Ia
mengenalkanku suara itu, agar suatu saat kelak aku tidak lupa dari mana aku
berasal dan dibesarkan.
Bersama ayahku,
orang yang ia patuhi dan sayangi. Ibuku ikut mencari nafkah sedikit-sedikit
untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, karena selain aku dan kakak-kakakku,
banyak saudara yang ikut ia asuh. Satu atap dalam rumah yang sederhana. Ayahku
seorang pegawai negeri yang tertindas. Dengan birokrasi kantornya yang korup,
ia banyak merasakan ketidakadilan di dalamnya. Terutama dari kerabat dekat
petinggi kantor yang cepat naik jabatan, dan pegawai yang berani bertindak di
luar nurani. Namun ia kuat bertahan, melawan uang suap dan menepis angan-angan
tinggi dengan uang haram. Baginya haram, uang itu dimakan olehnya dan
keluarganya. Ia tak ingin darah yang mengalir ke seluruh organ tubuh keluarga
yang ia asuh akan memperkenalkan dari mana uang itu berasal. Ia pun tak ingin,
senyum yang merekah dari bibirnya dengan uang tersebut adalah senyum iblis. Ayahku
pun menutup kehidupan yang fana ini dengan kesederhanaan. Kain kafan pun
dibelikan oleh saudara yang pernah ia asuh, begitupun biaya pengantaran jenazah
dan penguburan. Tangis haru kepergiannya menyertai bersama doa dan permohonan
ampun untuknya.
Setelah kepergian orang yang ia cintai, ibulah yang
menjadi tumpuan hidup. Jam kerjanya bertambah karena uang pensiunan ayahku
belum cukup untuk membayai ketiga anaknya yang belum bekerja dan masih sekolah.
Kedua kakakku yang paling besar akhirnya menikah dan kini hidup bersama
suaminya. Dua darah dagingnya itu telah terikat dalam perkawinan dan siap merasakan
posisi ibu dalam keluarga barunya. Namun ketiga anaknya berikut aku, masih
belum jelas ke mana arahnya. Kami bertiga masih menjadi beban biaya, beban
pikiran dan beban hidup. Kami perlu makan dan pakaian, belum lagi kesenangan
yang selalu mengajak melupakan kerja keras ibuku.
Siang malam suara mesin memecah keramaian dan keheningan,
di saat semua jiwa terlena dengan kehidupan siang hari dan kenyamanan dalam tidur
yang lelap. Setiap ada orderan tak
pernah ia tolak. Namun apa daya umurnya telah beranjak tua, tenaga dan
ketelitiannya mulai berkurang, begitupun kepiayawaiannya. Tak jarang ia harus
mengulang kembali jahitannya yang salah, memotong kembali ukuran baju yang
kebesaran. Pakaian yang biasanya selesai dalam waktu sehari, kini bisa sampai tiga
hari baru selesai. Tak urung kata-kata kecewa dan kata-kata rendah ia terima
lapang dada dari para pelanggan. Ia tetap berdiri tegak, sabar dan pantang
menyerah. Karena hanya dengan menjahit ia bisa bertahan hidup, membeli makan
untuk keseharian dan mengantarkan anak-anaknya pada masa depan yang lebih baik
darinya.
Semangatnya tak pernah tumpul, tidak seperti gunting yang
ia pakai. Setiap hari ia asah tekadnya, setiap hari ia design jalan apa yang bisa menghasilkan uang demi masa depan
anak-anaknya. Ia tak pernah mengukur pengorbanannya, tidak seperti kain yang
selalu ia ukur. Ia tak pernah membatasi untuk bekerja keras, tidak seperti
mesin jahit yang sering rusak dan ngadat. Tak ada semenit pun ia abaikan tanpa
memikirkan “kapan pakaian ini akan selesai” yang berarti kapan aku dapat uang
untuk membiayai anak-anakku.
Aku adalah orang yang telat mengerti keadaan ibuku.
Terlena dalam pencarian jati diri dan kesenangan. Banyak perilakuku yang sering
mengecewakannya, bahkan membuatnya sedih dan menangis. Jauh dari sinar matanya
ada bahasa harapan agar aku bisa berubah dan dapat merubah perekonomian
keluarga. Namun nafsuku membakar harapan tersebut dan sekejap melupakan kekecewaannya.
Aku masih labil untuk memahami jalan hidup ini, masih terlalu bodoh untuk
memahami arti perjuangan dan pengorbanan.
Beberapa tahun setelah kematian ayahku. Satu persatu
saudara yang diasuhnya memisahkan diri. Tidak ingin menambah beban, karena
hanya ibuku yang menjadi tumpuan sedangkan masih ada tiga anaknya yang harus
dibesarkan. Di antara mereka ada yang sudah memiliki pekerjaan tetap dan layak.
Ibuku tak pernah mengharapkan balasan. Ia sudah cukup senang dan tersenyum
bahagia melihat orang yang pernah diasuhnya berhasil, begitupun mungkin ayahku
di alam sana.
Waktu berjalan menapaki hari yang terus berganti,
akhirnya dua bebannya berkurang lagi. Kedua kakakku diminang dan diajak hidup bersama
di tempat tinggal suaminya. Hanya aku dan ibuku yang tersisa di rumah yang
penuh dengan kenangan. Rumah yang ramai dengan obrolan, lalu lalang, dan
kegiatan kini menjadi sepi, kecuali suara itu. Ia masih setia meramaikan
suasana dan setia menemani haparan-harapan yang belum kesampaian.
“Gimana sih ibu, kok baju saya kekecilan. Ini bahan mahal
lho!” suara itu sedikit mengganggu tidurku, aku tidak menghiraukannya karena
jadwal bangunku jam sebelas mendekati siang sedangkan jam dinding yang kulihat
masih jam setengah delapan. “Huamm” aku berusaha tidur lagi.
“Ya sudah saya minta ganti rugi!”.
Selang beberapa menit dari kata-kata terakhir aku pun keluar kamar, ku lihat ibuku duduk di
bangku di depan mesin jahit sambil menundukkan kepalanya. Aku langsung menuju
kamar mandi, mungkin ia ketiduran karena tadi malam ibu semalaman suntuk
menjahit. Kran ku buka sehingga yang ku dengar hanya suara percikan air. Ku basahi
wajahku namun ketika kran ku tutup terdengar suara isak tangis. Tidak lain, itu
adalah suara ibu. Ku bergagas keluar, ku hampiri tubuh yang sedikit rapuh
termakan usia dan kerja kerasnya. Namun seketika ia diam dan langsung mengusap
air matanya.
“Tadi siapa bu?” tanyaku. Ia malah tersenyum dan
menggelengkan kepalanya tanpa menjawab. Hal itu menjadi aneh bagiku seorang
anak, ketika ku tanya ia malah tersenyum dan berusaha menyembunyikan apa yang
sebenarnya terjadi. Senyumnya palsu bagiku, tapi bukan kepalsuan mereka yang ku
kenal munafik. Senyumnya adalah mutiara kasih sayang, ia tak ingin menjadi
kekhawatiran bagiku. Seperti itukah seorang ibu?.
Tak sepatutnya temanku mengajak untuk ikut bekerja
dengannya di sebuah bengkel mobil. Karena aku sama sekali tidak mencarinya, aku
merasa tidak pantas karena aku hanya diam dan diam saja. Sedangkan bagiku
banyak orang yang lebih membutuhkannya untuk bekerja. Namun ternyata Tuhan
bekerja sendiri untukku, aku malu padaNya padahal aku masih muda untuk bergerak
keluar dan mencari kesempatan. Mencari pekerjaan yang dapat menghasilkan uang
dan memenuhi kebutuhanku setiap hari.
Meski pekerjaan itu tidak sesuai dengan bidangku, namun
aku berusaha untuk bisa menyeimbanginya. Sedikit-sedikit aku mempelajari
bagaimana cara men-service mesin, balancing roda, ganti oli dan semua hal
yang belum pernah aku kuasai sebelumnya. Aku pun harus bangun pagi karena bosku
mewajibkan ke semua karyawannya untuk datang jam 7 pagi. Hari demi hari ku
lewati dengan bekerja di bengkel, selembar mata uang bisa aku dapatkan perhari
sebagai upahku bekerja. Kini aku bisa jajan dengan uangku sendiri.
Semakin hari bengkel tempatku bekerja semakin ramai oleh
konsumen, dengan begitu upahku perhari pun bertambah. Hampir seluruh pekerja di
sini seusia denganku, dengan usia yang sama, maka hampir kebiasaannya pun sama.
Aku mulai menikmati uang hasil kerjaku dengan sering berkumpul bersama teman
dan jalan-jalan keluar kota. Hal itu hampir ku lakukan setiap minggu. Aku
sengaja terlena dengan pencapaiannku, karena aku berfikir aku layak seperti ini
karena ini semua adalah hasil usahaku sendiri. Tak terbesit oleh ku untuk
menyisihkan sedikit uang untuk ibuku apalagi untuk menabung. Sampai suatu
ketika terjadi musibah padaku karena keteledoranku. Salah satu motor yang aku
perbaiki ternyata tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh pemiliknya, padahal
ia sudah mengeluarkan banyak biaya. Tidak cukup sampai disitu aku pun dituntut
untuk mengganti kerusakannya. Aku sama sekali tidak memegang uang untuk
mengganti kerusakannya, uangku habis. Habis oleh keteledoran dan kepuasanku.
Karena tidak dapat membayarnya aku pun dipecat.
Aku kembali ke alamku, alam yang penuh dengan kebosanan,
alam yang selalu membuatku tertekan dan merasa menjadi orang yang paling tidak
berguna. Aku lebih suka menyendiri, karena aku dapat menghindar dari
pertanyaan-pertanyaan yang malas aku jawab. Aku kembali menganggur. Melihat aku
yang tidak lagi bekerja, ibuku pun menegur.
“Kenapa enggak kerja lagi?”. Dengan halus ia bertanya.
“Dipecat”. Jawabku. Ia hanya tersenyum kecil. Bahasanya
yang halus justru membuatku semakin terpuruk. Terpuruk oleh penyesalan, aku
kembali teringat tingkah lakuku ketika aku bekerja. Aku menyesal.
Keseharianku kini hanya terisi dengan kekosongan tanpa
berbuat apa-apa. Sedangkan ibuku masih seperti dulu, bekerja dengan sisa
kekuatannya yang semakin lemah. Ada rasa iri menyelimuti hatiku. Aku muda dan
bisa bekerja tapi kenapa aku seperti ini? Ada keinginan untuk bangkit namun
tubuh ini serasa enggan bergerak dan keluar dari keterpurukan. Sifat malasku
lebih besar dari motivasiku.
Dua bulan sudah aku menganggur. Sampai suatu ketika salah
seorang temanku berkata “Pengangguran itu ada dua jenis. Pertama, memang dia
sudah berusaha mencarinya tapi belum juga diterima, dan kedua adalah mereka
yang sebenarnya malas untuk bekerja”. Aku tersentak mendengarnya. Seperti ada
kobaran api dalam dadaku, membakar apa yang ada di dalamnya. Aku merasa
tersinggung, tapi aku memilih diam dari pada terjadi perdebatan dengannya.
Kata-kata itu terus berbicara, berbisik bahkan berteriak mengusik ketenanganku.
Lebih-lebih yang ku lihat setiap hari di rumah, ibuku selalu bekerja, mengukur,
memotong, dan menjahit. sedangkan aku hanya diam menunggu kesempatan datang
dengan sendirinya.
Selang sebulan, salah satu temanku datang menawarkan
pekerjaan yang sama menjadi montir . Lagi-lagi Tuhan bekerja sendiri untukku,
aku malu. Aku pun menerimanya, dengan sedikit kesadaran yang aku miliki untuk melawan
musuh terbesarku. Aku berniat untuk tidak lagi menghamburkan upah kerjaku dan
belajar menyisihkan uang untuk keperluanku dan ibuku.
Suasana tempatku bekerja sangat berbeda dengan
sebelumnya, di sini aku bekerja dengan beberapa pekerja lain yang usianya jauh
lebih tua dariku. Hampir dari mereka sudah berkeluarga dan sudah mempunyai
anak. Toko tempat ku bekerja saat ini tidak seramai sebelumnya. Banyak waktu
senggang karena mungkin tempat dan fasilitasnya kurang menggairahkan konsumen
ditambah pekerjanya yang sudah lumayan tua, jadi pekerjaannya agak lama. Waktu
senggang itu pun selalu terisi oleh obrolan-obrolan di antara kami. Dari sinilah
aku mulai banyak belajar dari pemikiran dan pengalaman mereka. Tentunya tentang
seperti apa itu tujuan hidup.
Kini, hari-hariku terisi oleh motivasi dalam pencapaian
sebuah tujuan. aku mulai lebih menikmati pekerjaanku dan merasa lebih berarti
lagi jika aku rutin menyisihkan sebagian upahku untuk keperluan ibuku. Aku
mulai mewajibkan diriku untuk pulang ke rumah dengan membawa makanan kesukaan
ibuku. Dan mulai menanyakan keadaan dan mengingatkannya jika tidur terlalu
larut. Aku mulai terbuka dengan kakak-kakakku menanyakan kabar, dan bertukar
pikiran. Tidak lagi bangun siang dan bermalas-malasan di rumah tanpa ada satu
pun yang aku kerjakan. Aku mulai sedikit berarti, apalagi jika cita-citaku
untuk menaik hajikan ibuku tercapai. Begitupun yang ku lihat dari ekspresi ibu
kepadaku. Sedikit kecemasan akan masa depanku menghilang. Aku lebih percaya
diri.
Setelah menyalami
ibuku, akupun pergi ke tempat kerja. Hal yang aku paksa menjadi kewajiban
untukku lakukan. Meminta doa dan ridhonya. Hari-hariku kini penuh semangat dan
optimisme. Ku rasakan setiap hembusan angin pagi, menyelami setiap tapak
langkah kaki menuju tujuan yang ku junjung setinggi langit. Sesampainya di sana,
aku melihat kertas tertempel di garasi toko tempatku bekerja “DISEWAKAN”. Aku
berusaha tidak terkejut, karena mungkin ini candaan teman sepekerjaanku. Aku
mencoba membuka garasinya yang sudah jelas terkunci, kemudian berteriak ke
dalam memanggil salah satu temanku. Namun tak ada respon sedikitpun. Tiba-tiba,
“Toko lo bangkrut, udah cari kerjaan lagi aja!” Kata pekerja
toko sebelah.
Aku terpasung, jiwaku yang tadi berputar kencang, kini
melambat. Perlahan-lahan impian yang kujunjung tinggi menurun bahkan terkubur.
Kembali tergambar masa-masa suramku dulu mengitari angan yang sudah lama ku
lupakan. Aku pun kembali ke rumah, setiap langkah menuju rumah terasa berat bukan makanan kesukaan ibu yang ku bawa, aku
membawa sebongkah kekecewaan jika aku tunjukkan padanya. Terdetik pada diriku
untuk membohongi ibuku. dan itulah yang aku lakukan sekarang. Ku sembunyikan
kenyataan yang sebenarnya terjadi, meski aku telah membohongi diriku sendiri.
Setiap pagi aku berpura-pura melakukan aktifitas yang biasa aku kerjakan.
Bangun pagi, sarapan dan dan menyalami ibuku. Setiap kali berpisah senyumnya
terasa sakit dalam hati, aku telah membohonginya. Ku kayuh langkahku keluar
dengan harapan ada pekerjaan yang aku temukan di luar sana. Namun sudah
beberapa hari aku tidak juga menemukan pekerjaan sementara uang yang ku pegang
semakin menipis.
Semakin
lama aku menjalani kebohongan ini, ternyata Tuhan memberikan kesadaran baru
untukku, aku sadar setiap kali aku berjalan banyak sekali kehidupan yang ku
lihat. Semua tidak luput dari sebuah tujuan. Aku lihat pengemis, “Aku bisa seperti dia”. Aku lihat
pencopet yang lari terbirit-birit karena kepergok,”Aku bisa seperti dia”. Aku lihat seorang pengusaha menuju mobilnya
yang mewah, “Aku bisa seperti dia”.
Aku lihat pejabat yang menjadi buronan, “Aku
bisa seperti dia”. Semua bisa ku capai jika aku berusaha mencapainya.
Aku sadar, tak perlu jauh-jauh melihat kesuksesan dari
orang-orang yang aku ketahui mengkilau dengan kekayaannya, glamour dengan kehidupannya. Namun bagiku ibu adalah contoh
teladan. Ia berdikari, meski usahanya tidak sebesar perusahaan yang memiliki
kantor bertingkat-tingkat. Meski usahanya kecil namun ia telah sukses
memberikan masa depan yang layak bagi anak-anaknya. Meski kadang diremehkan,
tapi ia tak pernah mengemis meminta belas kasih. Ia adalah seniman sejati, karyanya
mempesona banyak orang. Bagiku ibu adalah permata kecil yang menerangi dunia.
Tuhan, apalah arti
pertemuanku dengan orang yang aku sayangi di dunia ini, jika di kehidupan nanti
aku tidak pernah berjumpa lagi dengannya.
19 Juni 2010
Ditulis oleh : Fikry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar