Kamis, 06 Desember 2012

Jahitan Kasih Sayang.........





Aku bangga berada di dekatnya walau kadang orang melihat rendah profesinya

            Banyak waktu ia lewati duduk di atas kursi dengan badan condong ke depan, mengarahkan laju jarum, mengayuh roda mesin dengan kedua kakinya, pandangan terfokus pada kain. Dengan teliti ia ukur setiap inci kain dan menggunting bagian-bagian yang tak perlu. Kemudian ia mulai menjahit bagian baju sesuai dengan ukuran badan orang yang memesannya, dengan harapan orang yang mengenakannya akan terlihat anggun dan berwibawa. Namun bukan hanya itu yang terlihat dan terekam dalam benakku. Di balik itu semua, ia pun menjahit harapan besar untuk masa depan anak-anaknya.

            Bersama sinar bulan, banyak malam ia lewati hanya untuk menyelesaikan pesanan. Tak ia hiraukan mimpi-mimpi indahnya, begitupun jam istirahatnya. Entah sejak kapan ia mulai menekuni profesi ini. Seingatku, aku pernah mendengar suara mesin jahit itu saat aku berada dalam kandungannya. Ia mengenalkanku suara itu, agar suatu saat kelak aku tidak lupa dari mana aku berasal dan dibesarkan.

             Bersama ayahku, orang yang ia patuhi dan sayangi. Ibuku ikut mencari nafkah sedikit-sedikit untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, karena selain aku dan kakak-kakakku, banyak saudara yang ikut ia asuh. Satu atap dalam rumah yang sederhana. Ayahku seorang pegawai negeri yang tertindas. Dengan birokrasi kantornya yang korup, ia banyak merasakan ketidakadilan di dalamnya. Terutama dari kerabat dekat petinggi kantor yang cepat naik jabatan, dan pegawai yang berani bertindak di luar nurani. Namun ia kuat bertahan, melawan uang suap dan menepis angan-angan tinggi dengan uang haram. Baginya haram, uang itu dimakan olehnya dan keluarganya. Ia tak ingin darah yang mengalir ke seluruh organ tubuh keluarga yang ia asuh akan memperkenalkan dari mana uang itu berasal. Ia pun tak ingin, senyum yang merekah dari bibirnya dengan uang tersebut adalah senyum iblis. Ayahku pun menutup kehidupan yang fana ini dengan kesederhanaan. Kain kafan pun dibelikan oleh saudara yang pernah ia asuh, begitupun biaya pengantaran jenazah dan penguburan. Tangis haru kepergiannya menyertai bersama doa dan permohonan ampun untuknya.

            Setelah kepergian orang yang ia cintai, ibulah yang menjadi tumpuan hidup. Jam kerjanya bertambah karena uang pensiunan ayahku belum cukup untuk membayai ketiga anaknya yang belum bekerja dan masih sekolah. Kedua kakakku yang paling besar akhirnya menikah dan kini hidup bersama suaminya. Dua darah dagingnya itu telah terikat dalam perkawinan dan siap merasakan posisi ibu dalam keluarga barunya. Namun ketiga anaknya berikut aku, masih belum jelas ke mana arahnya. Kami bertiga masih menjadi beban biaya, beban pikiran dan beban hidup. Kami perlu makan dan pakaian, belum lagi kesenangan yang selalu mengajak melupakan kerja keras ibuku. 

            Siang malam suara mesin memecah keramaian dan keheningan, di saat semua jiwa terlena dengan kehidupan siang hari dan kenyamanan dalam tidur yang lelap. Setiap ada orderan tak pernah ia tolak. Namun apa daya umurnya telah beranjak tua, tenaga dan ketelitiannya mulai berkurang, begitupun kepiayawaiannya. Tak jarang ia harus mengulang kembali jahitannya yang salah, memotong kembali ukuran baju yang kebesaran. Pakaian yang biasanya selesai dalam waktu sehari, kini bisa sampai tiga hari baru selesai. Tak urung kata-kata kecewa dan kata-kata rendah ia terima lapang dada dari para pelanggan. Ia tetap berdiri tegak, sabar dan pantang menyerah. Karena hanya dengan menjahit ia bisa bertahan hidup, membeli makan untuk keseharian dan mengantarkan anak-anaknya pada masa depan yang lebih baik darinya.
            Semangatnya tak pernah tumpul, tidak seperti gunting yang ia pakai. Setiap hari ia asah tekadnya, setiap hari ia design jalan apa yang bisa menghasilkan uang demi masa depan anak-anaknya. Ia tak pernah mengukur pengorbanannya, tidak seperti kain yang selalu ia ukur. Ia tak pernah membatasi untuk bekerja keras, tidak seperti mesin jahit yang sering rusak dan ngadat. Tak ada semenit pun ia abaikan tanpa memikirkan “kapan pakaian ini akan selesai” yang berarti kapan aku dapat uang untuk membiayai anak-anakku.   
            Aku adalah orang yang telat mengerti keadaan ibuku. Terlena dalam pencarian jati diri dan kesenangan. Banyak perilakuku yang sering mengecewakannya, bahkan membuatnya sedih dan menangis. Jauh dari sinar matanya ada bahasa harapan agar aku bisa berubah dan dapat merubah perekonomian keluarga. Namun nafsuku membakar harapan tersebut dan sekejap melupakan kekecewaannya. Aku masih labil untuk memahami jalan hidup ini, masih terlalu bodoh untuk memahami arti perjuangan dan pengorbanan.  
            Beberapa tahun setelah kematian ayahku. Satu persatu saudara yang diasuhnya memisahkan diri. Tidak ingin menambah beban, karena hanya ibuku yang menjadi tumpuan sedangkan masih ada tiga anaknya yang harus dibesarkan. Di antara mereka ada yang sudah memiliki pekerjaan tetap dan layak. Ibuku tak pernah mengharapkan balasan. Ia sudah cukup senang dan tersenyum bahagia melihat orang yang pernah diasuhnya berhasil, begitupun mungkin ayahku di alam sana. 

            Waktu berjalan menapaki hari yang terus berganti, akhirnya dua bebannya berkurang lagi. Kedua kakakku diminang dan diajak hidup bersama di tempat tinggal suaminya. Hanya aku dan ibuku yang tersisa di rumah yang penuh dengan kenangan. Rumah yang ramai dengan obrolan, lalu lalang, dan kegiatan kini menjadi sepi, kecuali suara itu. Ia masih setia meramaikan suasana dan setia menemani haparan-harapan yang belum kesampaian.    

            “Gimana sih ibu, kok baju saya kekecilan. Ini bahan mahal lho!” suara itu sedikit mengganggu tidurku, aku tidak menghiraukannya karena jadwal bangunku jam sebelas mendekati siang sedangkan jam dinding yang kulihat masih jam setengah delapan. “Huamm” aku berusaha tidur lagi.
           
 “Ya sudah saya minta ganti rugi!”.

            Selang beberapa menit dari kata-kata terakhir  aku pun keluar kamar, ku lihat ibuku duduk di bangku di depan mesin jahit sambil menundukkan kepalanya. Aku langsung menuju kamar mandi, mungkin ia ketiduran karena tadi malam ibu semalaman suntuk menjahit. Kran ku buka sehingga yang ku dengar hanya suara percikan air. Ku basahi wajahku namun ketika kran ku tutup terdengar suara isak tangis. Tidak lain, itu adalah suara ibu. Ku bergagas keluar, ku hampiri tubuh yang sedikit rapuh termakan usia dan kerja kerasnya. Namun seketika ia diam dan langsung mengusap air matanya. 

            “Tadi siapa bu?” tanyaku. Ia malah tersenyum dan menggelengkan kepalanya tanpa menjawab. Hal itu menjadi aneh bagiku seorang anak, ketika ku tanya ia malah tersenyum dan berusaha menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Senyumnya palsu bagiku, tapi bukan kepalsuan mereka yang ku kenal munafik. Senyumnya adalah mutiara kasih sayang, ia tak ingin menjadi kekhawatiran bagiku. Seperti itukah seorang ibu?.

            Tak sepatutnya temanku mengajak untuk ikut bekerja dengannya di sebuah bengkel mobil. Karena aku sama sekali tidak mencarinya, aku merasa tidak pantas karena aku hanya diam dan diam saja. Sedangkan bagiku banyak orang yang lebih membutuhkannya untuk bekerja. Namun ternyata Tuhan bekerja sendiri untukku, aku malu padaNya padahal aku masih muda untuk bergerak keluar dan mencari kesempatan. Mencari pekerjaan yang dapat menghasilkan uang dan memenuhi kebutuhanku setiap hari. 

          Meski pekerjaan itu tidak sesuai dengan bidangku, namun aku berusaha untuk bisa menyeimbanginya. Sedikit-sedikit aku mempelajari bagaimana cara men-service mesin, balancing roda, ganti oli dan semua hal yang belum pernah aku kuasai sebelumnya. Aku pun harus bangun pagi karena bosku mewajibkan ke semua karyawannya untuk datang jam 7 pagi. Hari demi hari ku lewati dengan bekerja di bengkel, selembar mata uang bisa aku dapatkan perhari sebagai upahku bekerja. Kini aku bisa jajan dengan uangku sendiri. 

            Semakin hari bengkel tempatku bekerja semakin ramai oleh konsumen, dengan begitu upahku perhari pun bertambah. Hampir seluruh pekerja di sini seusia denganku, dengan usia yang sama, maka hampir kebiasaannya pun sama. Aku mulai menikmati uang hasil kerjaku dengan sering berkumpul bersama teman dan jalan-jalan keluar kota. Hal itu hampir ku lakukan setiap minggu. Aku sengaja terlena dengan pencapaiannku, karena aku berfikir aku layak seperti ini karena ini semua adalah hasil usahaku sendiri. Tak terbesit oleh ku untuk menyisihkan sedikit uang untuk ibuku apalagi untuk menabung. Sampai suatu ketika terjadi musibah padaku karena keteledoranku. Salah satu motor yang aku perbaiki ternyata tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh pemiliknya, padahal ia sudah mengeluarkan banyak biaya. Tidak cukup sampai disitu aku pun dituntut untuk mengganti kerusakannya. Aku sama sekali tidak memegang uang untuk mengganti kerusakannya, uangku habis. Habis oleh keteledoran dan kepuasanku. Karena tidak dapat membayarnya aku pun dipecat.   

            Aku kembali ke alamku, alam yang penuh dengan kebosanan, alam yang selalu membuatku tertekan dan merasa menjadi orang yang paling tidak berguna. Aku lebih suka menyendiri, karena aku dapat menghindar dari pertanyaan-pertanyaan yang malas aku jawab. Aku kembali menganggur. Melihat aku yang tidak lagi bekerja, ibuku pun menegur. 

            “Kenapa enggak kerja lagi?”. Dengan halus ia bertanya. 

        “Dipecat”. Jawabku. Ia hanya tersenyum kecil. Bahasanya yang halus justru membuatku semakin terpuruk. Terpuruk oleh penyesalan, aku kembali teringat tingkah lakuku ketika aku bekerja. Aku menyesal.
            
              Keseharianku kini hanya terisi dengan kekosongan tanpa berbuat apa-apa. Sedangkan ibuku masih seperti dulu, bekerja dengan sisa kekuatannya yang semakin lemah. Ada rasa iri menyelimuti hatiku. Aku muda dan bisa bekerja tapi kenapa aku seperti ini? Ada keinginan untuk bangkit namun tubuh ini serasa enggan bergerak dan keluar dari keterpurukan. Sifat malasku lebih besar dari motivasiku. 

            Dua bulan sudah aku menganggur. Sampai suatu ketika salah seorang temanku berkata “Pengangguran itu ada dua jenis. Pertama, memang dia sudah berusaha mencarinya tapi belum juga diterima, dan kedua adalah mereka yang sebenarnya malas untuk bekerja”. Aku tersentak mendengarnya. Seperti ada kobaran api dalam dadaku, membakar apa yang ada di dalamnya. Aku merasa tersinggung, tapi aku memilih diam dari pada terjadi perdebatan dengannya. Kata-kata itu terus berbicara, berbisik bahkan berteriak mengusik ketenanganku. Lebih-lebih yang ku lihat setiap hari di rumah, ibuku selalu bekerja, mengukur, memotong, dan menjahit. sedangkan aku hanya diam menunggu kesempatan datang dengan sendirinya. 

            Selang sebulan, salah satu temanku datang menawarkan pekerjaan yang sama menjadi montir . Lagi-lagi Tuhan bekerja sendiri untukku, aku malu. Aku pun menerimanya, dengan sedikit kesadaran yang aku miliki untuk melawan musuh terbesarku. Aku berniat untuk tidak lagi menghamburkan upah kerjaku dan belajar menyisihkan uang untuk keperluanku dan ibuku. 

            Suasana tempatku bekerja sangat berbeda dengan sebelumnya, di sini aku bekerja dengan beberapa pekerja lain yang usianya jauh lebih tua dariku. Hampir dari mereka sudah berkeluarga dan sudah mempunyai anak. Toko tempat ku bekerja saat ini tidak seramai sebelumnya. Banyak waktu senggang karena mungkin tempat dan fasilitasnya kurang menggairahkan konsumen ditambah pekerjanya yang sudah lumayan tua, jadi pekerjaannya agak lama. Waktu senggang itu pun selalu terisi oleh obrolan-obrolan di antara kami. Dari sinilah aku mulai banyak belajar dari pemikiran dan pengalaman mereka. Tentunya tentang seperti apa itu tujuan hidup.

            Kini, hari-hariku terisi oleh motivasi dalam pencapaian sebuah tujuan. aku mulai lebih menikmati pekerjaanku dan merasa lebih berarti lagi jika aku rutin menyisihkan sebagian upahku untuk keperluan ibuku. Aku mulai mewajibkan diriku untuk pulang ke rumah dengan membawa makanan kesukaan ibuku. Dan mulai menanyakan keadaan dan mengingatkannya jika tidur terlalu larut. Aku mulai terbuka dengan kakak-kakakku menanyakan kabar, dan bertukar pikiran. Tidak lagi bangun siang dan bermalas-malasan di rumah tanpa ada satu pun yang aku kerjakan. Aku mulai sedikit berarti, apalagi jika cita-citaku untuk menaik hajikan ibuku tercapai. Begitupun yang ku lihat dari ekspresi ibu kepadaku. Sedikit kecemasan akan masa depanku menghilang. Aku lebih percaya diri. 

             Setelah menyalami ibuku, akupun pergi ke tempat kerja. Hal yang aku paksa menjadi kewajiban untukku lakukan. Meminta doa dan ridhonya. Hari-hariku kini penuh semangat dan optimisme. Ku rasakan setiap hembusan angin pagi, menyelami setiap tapak langkah kaki menuju tujuan yang ku junjung setinggi langit. Sesampainya di sana, aku melihat kertas tertempel di garasi toko tempatku bekerja “DISEWAKAN”. Aku berusaha tidak terkejut, karena mungkin ini candaan teman sepekerjaanku. Aku mencoba membuka garasinya yang sudah jelas terkunci, kemudian berteriak ke dalam memanggil salah satu temanku. Namun tak ada respon sedikitpun. Tiba-tiba, 

            “Toko lo bangkrut, udah cari kerjaan lagi aja!” Kata pekerja toko sebelah. 
        Aku terpasung, jiwaku yang tadi berputar kencang, kini melambat. Perlahan-lahan impian yang kujunjung tinggi menurun bahkan terkubur. Kembali tergambar masa-masa suramku dulu mengitari angan yang sudah lama ku lupakan. Aku pun kembali ke rumah, setiap langkah menuju rumah terasa berat  bukan makanan kesukaan ibu yang ku bawa, aku membawa sebongkah kekecewaan jika aku tunjukkan padanya. Terdetik pada diriku untuk membohongi ibuku. dan itulah yang aku lakukan sekarang. Ku sembunyikan kenyataan yang sebenarnya terjadi, meski aku telah membohongi diriku sendiri. Setiap pagi aku berpura-pura melakukan aktifitas yang biasa aku kerjakan. Bangun pagi, sarapan dan dan menyalami ibuku. Setiap kali berpisah senyumnya terasa sakit dalam hati, aku telah membohonginya. Ku kayuh langkahku keluar dengan harapan ada pekerjaan yang aku temukan di luar sana. Namun sudah beberapa hari aku tidak juga menemukan pekerjaan sementara uang yang ku pegang semakin menipis. 

            Semakin lama aku menjalani kebohongan ini, ternyata Tuhan memberikan kesadaran baru untukku, aku sadar setiap kali aku berjalan banyak sekali kehidupan yang ku lihat. Semua tidak luput dari sebuah tujuan. Aku lihat pengemis, “Aku bisa seperti dia”. Aku lihat pencopet yang lari terbirit-birit karena kepergok,”Aku bisa seperti dia”. Aku lihat seorang pengusaha menuju mobilnya yang mewah, “Aku bisa seperti dia”. Aku lihat pejabat yang menjadi buronan, “Aku bisa seperti dia”. Semua bisa ku capai jika aku berusaha mencapainya. 

            Aku sadar, tak perlu jauh-jauh melihat kesuksesan dari orang-orang yang aku ketahui mengkilau dengan kekayaannya, glamour dengan kehidupannya. Namun bagiku ibu adalah contoh teladan. Ia berdikari, meski usahanya tidak sebesar perusahaan yang memiliki kantor bertingkat-tingkat. Meski usahanya kecil namun ia telah sukses memberikan masa depan yang layak bagi anak-anaknya. Meski kadang diremehkan, tapi ia tak pernah mengemis meminta belas kasih. Ia adalah seniman sejati, karyanya mempesona banyak orang. Bagiku ibu adalah permata kecil yang menerangi dunia.   

            Tuhan, apalah arti pertemuanku dengan orang yang aku sayangi di dunia ini, jika di kehidupan nanti aku tidak pernah berjumpa lagi dengannya.

19 Juni 2010

Ditulis oleh :  Fikry    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar