Jumat, 05 Agustus 2016

Bunga Aruna (Chapter I)



Pengangkatan Malaikat Maut


Mayat-mayat bergelimpangan tak jelas berbentuk. Burung bangkai datang dan pergi menyantap setiap bagian tubuh yang sudah tak bernyawa, seperti ada pesta yang menyajikan berbagai hidangan, daging empuk, hangat disertai minuman darah segar merah dan kental. Bau bangkai, bau anyir menyelimuti udara Godemar. Tak terdengar lagi jerit tangis kesakitan, tak terdengar lagi rintihan mohon ampun, suara-suara itu sudah meninggalkan tubuh berikut nyawa yang selama ini bersama.

Meski terseok-seok, Laksmiwati tetap melangkah. Rambutnya yang panjang, lusuh oleh cipratan darah, ada yang sudah mengering dan ada yang masih basah begitupun pakaiannya. Luka tusuk dan sayatan pedang ditubuhnya tak melemahkan niatnya, ia terus melangkah. Wajah datar, pandangan kosong seakan tak menghiraukan suasana disekitarnya. Dua pedang yang ia pegang dikedua tangannya ia lepas satu, menandakan orang terakhir yang akan ia lawan bukan orang biasa. Ia sadar tenaga sudah terkuras habis, kelincahan sudah berkurang dan konsentrasi membuyar. Sedikit-sedikit matanya terpejam menahan sakit yang mengoyak tubuhnya. Ia terus melangkah.

Ia tapaki satu persatu anak tangga menuju singgasana kebesaran Raja Godemar, meski terdapat ratusan anak tangga yang harus ia lewati, ia terus melangkah menuju dendam terbesarnya. 

Dari kejauhan orang yang paling ia cari, orang yang selalu menjadi mimpi buruknya terlihat. Ia tarik nafas sedalam-dalamnya seakan mengumpulkan segala kekuatan, segala dendam, segala amarah, segala jeritan yang ia alami selama ini. Matanya mengecil terfokus seakan butuh kepastian bahwa orang itu adalah Jakunti, raja Godemar. Semakin lama, semakin dekat dan cukup baginya untuk melampiaskan dendam yang sudah mendarah daging.  Kemudian.

“Jadi kaulah orangnya”. Jakunti geleng-geleng kepala, merasa salut. Ia tak pernah percaya bahwa orang yang mengobrak-abrik kekuasannya, orang yang membinasakan semua penduduknya, prajuritnya, ksatrianya dan semua generasi bangsanya hanya seorang wanita. Ternyata kabar burung yang selama ini ia dengar benar adanya. Laksmiwati diam tak merespon perkataan Jakunti, pandangannya terfokus pada Jakunti, kemudian ia kencangkan cengkeraman tangannya pada gagang pedang, ia ubah posisi siap menyerang. Tak lama kemudian, Jakunti meraih palu raksasa dari punggungnya kemudian mengambil posisi sama. Mereka berdua siap saling serang.

Pertarungan pun dimulai, denting pedang yang beradu dengan palu bergema, sedikit-sedikit percikan api keluar. Masing-masing saling mempertahankan posisi menyerang, tak ada yang mundur, tak ada yang berpaling. Ayuhan palu Jakunti sesekali meleset dan meremukkan tiang istana disekitar tempat mereka bertarung, sedangkan sisa kelincahan Laksmiwati masih bisa menghindar setiap serangan yang diberikan Jakunti, begitupun sebaliknya, meski berbadan besar Jakunti sanggup meladeni setiap serangan yang diberikan Laksmiwati.  

Namun apa daya bagi Laksmiwati, sisa kekuatannya berkurang, perih yang muncul dari luka di tubuhnya kini mengurangi gerak dan konsentrasinya. Tiba-tiba hantaman palu Jakunti menghantam tubuhnya, ia terpental membentur tembok hingga retak, tubuhnya terkapar. Tak terdengar teriak kesakitan, bahkan rintihan pun sama sekali tak terdengar. Lakmiwati terlalu dingin untuk menunjukkan kelemahannya. Sambil menahan sakit ia paksakan untuk bangkit. Jakunti berjalan tenang menghampiri Laksmiwati, ia sama sekali tidak terlihat lelah ataupun kewalahan. Dengan segenap sisa kekuatan Laksmiwati bangkit sebelum Jakunti mendekat. Ia bersiap lagi menerima serangan yang akan diberikan Jakunti.

Palu Jakunti kembali terayun, ia serang Laksmiwati secara bertubi-tubi tanpa ampun.  Laksmiwati terus mempertahankan posisinya, darah pun mengucur deras dari luka di tubuhnya, luka yang ia dapat dari serangan-serangan ksatria sebelum ia membantai mereka semua. Melihat kondisi tersebut Jakunti semakin membabi buta menyerang Lasmiwati, ia yakin bahwa kekuatan pada diri Laksmiwati telah hilang, kekuatan sihir yang terkenal dimiliki bangsa Karuyum telah hilang pada dirinya, bersamaan dengan pembantaian seluruh penduduk Karuyum. Mereka semua sudah binasa kecuali satu.

Kembali, Laksmiwati terhantam deraan Jakunti. Tubuhnya terpental lebih jauh, meski tak membentur apapun, namun cukup untuk meremukkan tubuhnya. Darahpun mengalir dari kepala Laksmiwati, tubuhnya terkapar tak bergerak sama sekali. Dari kejauhan Jakunti terlihat puas melihat keadaan Laksmiwati yang sudah tak bergerak. 
“Ha, ha, ha.....” Jakunti tertawa puas. Ia berjalan mendekati tubuh yang sudah tak berdaya itu.
Tiba-tiba terdengar bisikan yang mengema di telinga Laksmiwati. Sebuah suara yang sudah lama ia lupakan, suara yang dahulu pernah dekat, pernah menemani hari-hari dan mimpinya.
“Bolehkah aku menamai bunga ini?”.
“Ya, tentu”.
“Ku namai Bunga Aruna”.
Jakunti terus mendekat, ia genggam erat gagang palu. Kali ini ia akan menghantam kepala Laksmiwati sampai hancur, sampai isi otaknya keluar, bola matanya menggelinding di lantai, dan cipratan darah membasahi wajahnya. Kemudian bisikan itu terdengar lagi.
“Bolehkah aku menamai bunga ini?”.
“Ya, tentu”.
“Ku namai Bunga Aruna”.
Antara hidup dan mati, tubuh Laksmiwati tak bergerak sedikitpun. Jiwanya terombang-ambing pada dimensi yang berbeda. Ia tidak hidup dan tidak juga mati. Kemudian terlihat, Jakunti sudah sangat dekat, ia angkat palunya setinggi mungkin, kali ini ia tidak akan meleset. Target utama sudah terkapar tak berdaya, tak mungkin menghindar apalagi melawan balik. 
“Bolehkah aku menamai bunga ini?”.
“Ya, tentu”.
“Ku namai Bunga Aruna”.
“Bolehkah aku menamai bunga ini?”.
“Ya, tentu”.
“Ku namai Bunga Aruna”.
“Bolehkah aku menamai bunga ini?”.
“Ya, tentu”.
“Ku namai Bunga Aruna”.
Terus berulang-ulang. Suara samar itu semakin lama semakin nyata dan semakin santer terdengar, gemanya sampai terasa merusak pendengarannya. Ia pun tersadar. Matanya berkedip, tubuhnya mulai bergerak. Entah kekuatan apa yang ia dapat setelah mendengar bisikan tersebut. Tapi,  sayang dihadapannya Jakunti sudah mengangkat palu dengan kedua tangannya, hanya menunggu waktu, menerima hantaman benda keras dengan kepala yang baru sadar.  Tiba-tiba, Laksmiwati bangun. Jakunti kaget matanya membelalak tak percaya, ia tidak mengira bahwa Laksmiwati bisa bangkit. Ayuhan palunya tinggal beberapa inci lagi mengenai kepala Lakmiwati. Kemudian, hanya sedikit menggerakkan tubuhnya ke samping, Laksmiwati terhindar dari hantaman palu tersebut. Jakunti yang tidak mempersiapkan akan ada serang balik pun kehilangan akal. Laksmiwati melihat ada sedikit kesempatan, ini mungkin menjadi kesempatan terbaik dan terakhir yang ia miliki untuk melumpuhkan Jakunti. Jika ia tidak memanfaatkan dengan baik, ia pasti yang akan mati. Karena tidak sedikitpun pedang yang ia gunakan melukai bahkan melumpuhkan Jakunti.

Laksmiwati memanfaatkan kuda-kuda Jakunti untuk meloncat, kemudian pandangan Jakunti mengikuti pergerakkan Laksmiwati yang seolah-olah terbang, ia lihat mata pedang Laksmiwati mengarah ke bawah siap menusuk kepalanya. Belum sempat Jakunti mengelak, pedang itu sudah menghunus kepalanya menembus sampai kerongkongan. Seketika darah pun muncrat seperti tabung air yang bocor, tubuhnya lunglai tak terkontrol. Jiwanya tak lagi bisa mengatur tubuhnya untuk berbuat apapun. Laksmiwati masih terus menekan pedangnya, ia ingin menusuk sedalam-dalamnya, sekuat-kuatnya karena manusia seperti Jakunti tidak bisa mati dengan cara biasa. Kemudian tubuh besar bagai raksasa itupun jatuh terkapar, Laksmiwati sudah melompat lebih dulu. Dengan terseok-seok, Laksmiwati menghampiri tubuh Jakunti, ia cabut kembali pedang yang menancap di kepala Jakunti, tak lama kemudian ia tebas kepala Jakunti hingga terpisah dari tubuhnya. Sambil teriak puas, ia lempar kepala itu sampai keluar istana melewati tangga-tangga yang tadi ia lewati, menyatu bersama bangkai-bangkai tubuh bangsa Godemar lainnya.

Habis sudah dendam yang paling membara, dendam yang selalu menjadi mimpi buruk, dendam yang paling banyak memakan nyawa. Laksmiwati jatuh, dengan posisi setengah sujud, ia bayar janjinya. Janji yang sudah lama ia buat, janji yang pernah terucap ketika kematian hampir menjemputnya.

“Dendamku tuntas, aku siap mati”.  Tiba-tiba.

Langit berubah menjadi hitam pekat, gemuruh menggelegar di sana-sini, riuh angin menyapu segala benda, ratusan kilat menyambar apa pun yang tinggi menjulang ke langit, tanah berguncang kuat menghancurkan setiap bangunan begitupun istana di mana Laksmiwati berada. Atap bangunan mulai runtuh, tiang-tiang penyangga mulai retak dan seketika istana itu pun roboh menimpa apa pun yang ada didalamnya. Laksmiwati tak berdaya, ia ikut terpendam bersama puing-puing bangunan. Rasa sakit terasa semakin parah, organ-organ tubuh tak lagi merespon kehendak hati, yang tersisa hanya nafas yang tersendat-sendat, ia tak sadarkan diri.

Dalam kegelapan dan kesunyian, jiwanya melayang terombang-ambing seperti kapas tertiup angin. Sebuah keadaan yang pernah ia rasakan sebelumnya, namun sedikit-sedikit berubah menjadi suasana yang sangat mencekam, tak ada hal yang semencekam seperti yang ia rasakan saat ini. Hawa panas terasa membakar tubuh dan organ-organ di dalam tubuh Laksmiwati, kemudian tercium aroma busuk bangkai menyengat indera penciumannya dan memenuhi setiap ruang, dibawa bersamaan dengan datangnya sesosok tubuh berjubah serba hitam. Ya, malaikat maut itu datang menagih janji, yang pernah diucap oleh Laksmiwati. Kemudian malaikat maut menghampiri Laksmiwati.

“Sungguh mengesankan, wanita nan ayu, lembut bagai embun, halus seperti semilir angin pagi berubah menjadi sesosok yang menakutkan”. Malaikat maut berbicara sambil mengelilingi tubuh Laksmiwati yang sudah tak berdaya. Laksmiwati tegang, berkata pun ia tak sanggup. Ada hal yang berubah pada sosok malaikat maut yang pernah menemuinya sebelum ini, pertanyaan itu pun mengawang dibenaknya. Kemudian.

“Kenapa, kau bingung dengan penampilanku saat ini?”. Malaikat maut sambil menunjukkan penampilannya.

“Ya, aku bisa seperti ini”. Malaikat maut berubah menjadi sosok yang menyenangkan hati untuk dilihat, aroma wewangian memenuhi setiap sudut di mana ia berada dan suasana terasa sejuk dan tenang, diiringi lantuan musik yang menghipnotis siapapun yang mendengar. Dampaknya, kepasrahan tertinggi  bagi siapapun yang akan ia cabut nyawanya. Ya, hal ini pernah dirasakan Laksmiwati ketika pertama kali ia bertemu dengan malaikat maut. Tiba-tiba, ia rubah lagi bentuknya seperti semula. Tak enak dilihat, tak ada wewangian melainkan bau busuk menyengat penciuman, hawa terasa panas membakar tubuh dan isinya, suara histeris mencekam, menggema, detak jantung berdetak kencang, yang ada hanya ketakutan yang sangat dahsyat.  

“Kau tahu?” lanjut malaikat maut. Laksmiwati terlihat sangat gelisah dan ketakutan bukan kepayang. Ekspresi itu hanya terlihat dari gelak matanya yang tegang.

“Sebagian pekerjaanku kau rampas, bahkan kau mencabut nyawa yang belum saatnya ku cabut, para malaikat di langit memprotes tindakanmu, tapi aku harus menepati janji yang sudah kita buat. Malaikat juga harus menepati janjinya, bukan?”.

“Dan satu hal lagi”. Lanjutnya.

“Tindakanmu menyebabkan banyak perdebatan di langit. Para malaikat mempertanyakan hukuman apa yang layak untukmu, karena.... “. Malaikat maut terdiam sejenak.

“......lihat kau menyebabkan banyak kerusakan, banyak kematian dan hal lain yang akan menjadi sejarah terburuk bagi kehidupan mendatang”.

Tak lama berselang, muncul cahaya dari atas yang menembus langit. Cahaya itu turun tak jauh dari tempat di mana mereka berdua berada. Laksmiwati sama sekali tidak tahu siapa lagi yang datang, kemudian dari cahaya tersebut muncul sesosok tubuh, berjubah serba putih dengan sayap di punggungnya. Aroma busuk yang dibawa malaikat maut, sesaat hilang. Kali ini yang tercium aroma yang sangat wangi, aroma yang belum pernah tercium sebelumnya. Rambutnya putih bermahkota kristal dengan binar cahaya di atasnya, tubuhnya lebih besar dari malaikat maut. Ia membawa jubah hitam, entah apa maksud kedatangannya dan jubah tersebut. Laksmiwati tidak mampu menerka. Ia sudah pasrah tak berdaya menerima apa yang akan terjadi. Kemudian, malaikat maut menunduk menyambut kedatangan sosok tersebut. Tiba-tiba.

“Kau pikir mati akan menyelesaikan apa yang telah kau perbuat”. Ucap sosok berjubah putih itu. Mata Laksmiwati membelalak, ia tak pernah setegang itu. Sedangkan tubuhnya sama sekali tak bisa ia gerakkan begitupun mulutnya tak bisa bersuara. Ia tidak tahu apa yang akan ia terima. Kemudian sosok berjubah putih membuka tabir ingatan masa lalu Laksmiwati, apa yang terjadi sebelum dan sesudah ia mengejar dendamnya. Ia lihat api berkobar membakar rumah-rumah, ia lihat prajurit-prajurit Godemar datang dan mengancurkan apapun yang mereka temukan, ia dengar jeritan tangis dan rintihan mohon ampun, ia lihat mengapa orang Godemar menjadi brutal dan bengis, ia lihat kedamaian di tempat ia tinggal, Karuyum. Ia pun melihat orang-orang yang ia sayang mati dan ia juga lihat bagaimana perdebatan para malaikat mengecam apa yang ia perbuat. Kemudian.      

“Laksmiwati, kau tidak akan mati”. Bisik sosok berjubah putih langsung ke telinganya. Air mata Laksmiwati mulai menetes, ia membayangkan hal paling buruk akan ia rasakan sebagai hukuman atas tindakannya. Sosok berjubah putih itu hanya tersenyum melihat perubahan pada diri Laksmiwati. Tiba-tiba terdengar sebuah mantra keluar dari mulut sosok berjubah putih, mantra yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Tiba-tiba.

Dari tangan sosok berjubah putih keluar cahaya putih, tubuh Laksmiwati diselimuti cahaya tersebut, ia melayang terangkat olehnya, kemudian satu-persatu pakaiannya dilucuti oleh cahaya tersebut hingga tak sehelaipun tersisa. Tiba-tiba, jubah yang dibawa sosok berjubah putih terbuka dan melayang menghampiri Laksmiwati. Tubuhnya semakin terangkat tinggi dan jubah tersebut memakai dirinya sendiri ke tubuh Laksmiwati.  Seketika jubah itu terpasang, ia merasakan sebuah energi yang sangat besar masuk ke dalam tubuhnya, luka sayatan dan tusukan pada tubuhnya hilang seketika, begitupun tulang-tulang yang remuk akibat hantaman benda keras, sembuh dengan sendirinya. Seketika itu pula tubuh Laksmiwati jatuh, namun ia jatuh berdiri. Ia tidak lemah lagi.

Melihat perubahan yang terjadi pada Laksmiwati, sosok berjubah putih membacakan kembali mantra-mantranya, tiba-tiba Laksmiwati kembali terangkat mengawang, kali ini kulit tubuhnya menjadi putih dan halus tak seperti sebelumnya, matanya menjadi bening sebening air hujan, terpancar sebuah sinar dari wajah yang menyejukkan setiap mata yang memandang, muncul juga sayap di sebelah kanan dan kirinya, terasa halus seperti kain sutera dan setiap kali sayap itu ia kepakkan udara terasa sejuk dan adem, kemudian aroma wewangian pun tercium. Tak lama perubahan itu terjadi Laksmiwati turun, wajahnya terlihat berseri dan senyumnya terasa sangat manis. Kemudian.

Sosok berjubah putih membacakan kembali manteranya. Kali ini, kulit putih yang dimiliki Laksmiwati berubah menjadi hitam dan kasar sedikit bersisik, begitupun matanya berubah menjadi merah. Ia teriak sekeras mungkin, ia rasakan kekuatan masuk ke setiap bagian tubuhnya lagi. Ia menjerit sekeras-kerasnya kesakitan. Lalu sayap putih yang ia miliki berubah menjadi hitam, keluar merobek kulit dan dagingnya, ia menjerit lagi. Kemudian dari belakang muncul buntut panjang sepanjang tubuhnya, di ujungnya terdapat mata panah yang sangat runcing dan tajam, ia semakin menjerit menahan rasa sakit, tak lama kemudian bau anyir dan busuk pun tercium. Sampai perubahan pada dirinya sempurna, ia langsung jatuh ke tanah. Laksmiwati merintih sangat kesakitan, tubuhnya terkapar di tanah. Kali ini ia merasakan kembali rasa sakit yang sangat pedih. Ia merasa ada dua bentuk yang menyatu pada dirinya. Kemudian.

Laksmiwati bangkit, meski berat dan sakit. Lalu ia memperhatikan setiap perubahan pada tubuhnya, ia lihat satu persatu. Ia pegang buntut di belakangnya, ia pegang sayap di punggungnya, ia sentuh kulitnya. Dan ia rasakan ada pusara kekuatan besar terdapat di tubuhnya. Sampai itu semua terjadi Laksmiwati tak tahu apa yang sedang direncanakan oleh sosok berjubah putih. Namun, seketika ia menoleh ke arah malaikat maut yang berada disamping sosok berjubah putih. Ia kaget sekaget kagetnya, ia lihat ada kemiripan pada dirinya yang ia alami dengan malaikat maut. Jubahnya, warna kulitnya, sayapnya dan perubahan yang pernah malaikat maut tunjukkan sebelumnya. Setelah melihat kemiripan tersebut Lakmiwati tersadar, lalu ia tatap wajah malaikat maut, seketika itu pula malaikat maut tersenyum padanya dan tiba-tiba malaikat maut berubah menjadi burung gagak, ia terbang meninggalkan Laksmiwati dan sosok berjubah putih. Dari kepakkan sayapnya terlepas sehelai bulu sayap, terayun melayang jatuh ke tanah. Kemudian diambil oleh sosok berjubah putih. Laksmiwati menyadari apa yang sedang terjadi, kemudian ia teriak sekencang-kencangnya.

“Tidakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk!”. Ia tersungkur tak berdaya, ia tak menyangka akan seperti ini hasil dari perbuatannya. Kemudian.

“Kau ku kutuk menjadi malaikat maut, tidak ada lagi malaikat maut melainkan dirimu saat ini”. 

“Tidak.....!”.

“Biarkan aku mati, sebagai tebusan dari dosa-dosa yang telah ku lakukan. Aku ingin menyusul orang-orang yang ku sayangi, bersatu bersama mereka, berkumpul dengan para nenek moyang bangsaku terdahulu”. Laksmiwati memohon. Sosok berjubah putih hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian.

“Kau pikir seenak itu, setelah apa yang telah kau perbuat, kau bisa leluasa bertemu dengan mereka yang sudah mati, Tidak!!”.  Laksmiwati terdiam. Kemudian.

“Mengapa kau merubah diriku menjadi dua sosok yang sangat berbeda?” tanya Laksmiwati.

“Dengar, jika nyawa yang kau cabut adalah orang baik, maka kau akan menjemputnya seperti bidadari menjemput kekasihnya. Ia akan terbuai melihatmu dan ingin berlama-lama merasakan kehadiranmu. Tapi sebaliknya, jika nyawa yang kau cabut adalah orang jahat, kau akan berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan seperti tadi. Kau pun akan merasakan pedih dari apa yang pernah orang itu perbuat, sehingga kau akan cepat-cepat mencabut nyawa orang tersebut”. Jelas sosok berjubah putih.

“Lalu, sampai kapan kutukan ini akan aku jalani?”.

“Kutukan ini akan terus kau alami, sampai kenangan terindah yang kau lupakan demi dendammu, kau ingat kembali”.  

“Apa itu? hanya kau yang tahu”. Jelas sosok berjubah putih. Sejenak Laksmiwati berfikir kenangan apa yang akan menghilangkan kutukan tersebut. Kemudian.

“Kau tahu?, malaikat maut tidak boleh memiliki kenangan, karena masa lalu akan membuatmu iba, membuatmu takut, membuatmu terbatas dan yang paling penting, akan menggangu pekerjaanmu”. Tegas sosok berjubah putih. Laksmiwati bingung, apa maksud dari perkataan tersebut. Tiba-tiba.

Sosok berjubah putih memegang kepala Laksmiwati, seketika itu pula ia menghapus seluruh ingatan Laksmiwati. Tubuh Laksmiwati terkejang-kejang mengalami hal dahsyat tersebut, matanya melotot seakan ingatan-ingatan masa lalunya tak ingin keluar dari benaknya, saling tarik menarik. Tergambar lagi kejadian masa lalu yang pernah ia alami, dari proses ia diciptakan, dari kata pertama yang ia ucapkan, dari cinta pertama yang ia rasakan, ciuman dan pelukan, dari setiap angan dan mimpinya begitu pula dendamnya. Wajah-wajah yang pernah bersamanya, kejadian yang membahagiakan dan kejadian yang menyakitkan. Apa yang ia ingat, seketika itu pula terhapus. Ia tak mengenali wajah ibunya, tak tahu dari mana ia berasal bahkan ia tak tahu namanya sendiri, apalagi ingatan kecil yang bisa mengangkat kutukannya tersebut. Tak lama kemudian setelah proses itu terjadi, Laksmiwati berubah drastis. Gerak tubuhnya, nada suaranya dan segala hal tentangnya hilang seketika. Kemudian.

“Siapa kau?” tanya malaikat maut.

“Aku adalah Raja Para Malaikat, kau akan tunduk padaku dan patuh padaku”. Seketika itu pula malaikat maut menunduk, tanda ia akan tunduk dan patuh kepadanya. Kemudian bulu burung gagak yang tertinggal tadi, diselipkan di sela-sela telinga dan kepala malaikat maut oleh Raja Para Malaikat. Seketika itu pula malaikat maut tak lagi menapak ke bumi, ia melayang tanda perubahan menjadi malaikat maut telah sempurna.

Setelah proses itu selesai, lengkaplah sudah. Laksmiwati bukan siapa-siapa lagi melainkan malaikat maut yang akan bergentayangan ke setiap penjuru bumi, mencabut nyawa-nyawa yang sudah waktunya ia cabut.

Sosok berjubah putih yang tidak lain adalah Raja Para Malaikat kembali berubah menjadi cahaya, dan tidak lama berselang cahaya itu kembali naik ke langit dan menghilang. Sang malaikat maut, mengepakkan kedua sayapnya ia bersiap melaksanakan tugas-tugasnya.

Bersambung... (on progress)
Bagian II
Kembang Tenggelam di Lokapuja
            


Rabu, 29 Juni 2016

Kisah Tangan Kanan dan Tangan Kiri



Malam menghanyutkan kesadaran, diselimuti gelap yang merangkak menutup segala yang terlihat kemudian jiwa terombang-ambing dalam abstraknya mimpi mana kenyataan mana ilusi. Seorang pemuda tertidur di atas pangkuan kasur yang tidak begitu empuk, bantal yang sudah lusuh, bau dan bercorak tak wajar membantunya merangkai mimpi. Kemudian..

Isak tangis terdengar. Siapa gerangan ditengah malam yang sunyi dan sepi menangis, padahal yang lain sedang tidur dan bersenang-senang. Tangan kiri merungkuk rintih tangisnya tak terbendung lagi, ia sudah lama menahan gejolak dalam dirinya menerima segala cemoohan, diskriminasi dan penghakiman antara baik dan buruk, sopan dan tidak sopan. Si tangan kanan yang sedang asik melambai-lambai dalam mimpi pun tak sanggup lagi menutupi apa yang sebenarnya terjadi, ia sadar, tak sanggup lagi pura-pura bodoh dan pura-pura tidak tahu ada sesuatu yang terjadi, lalu..

"Apa yang menyebabkan mu menangis?" tanya tangan kanan. Tangan kiri mencoba terlihat tegar dan baik-baik saja sambil mengusap air matanya

"Ayo, ceritakan?" kemudian.

"Apakah kamu merasakan ada yang salah pada diriku?" tangan kiri balik tanya

"Tidak" jawab tangan kanan. Tak lama kemudian

"Iya" jawabnya lagi, tangan kanan tak sanggup lagi menenangkan diri kalau tidak ada sesuatu yang terjadi pada tangan kiri, tak sanggup acuh dan tak peduli lagi, ia sudah lama merasakan, sudah lama tahu, sudah lama mendengar tapi lebih memilih diam.

"Kita diciptakan untuk saling melengkapi, bukan?". Tangan kanan memanggut

"Tapi kenapa, aku selalu didiskriminasi oleh mereka? Makan tangan kanan, minum tangan kanan, menulis tangan kanan, bersalaman tangan kanan semua yang baik harus tangan kanan, sedangkan aku hanya diperhitungkan untuk hal-hal yang jorok. Cebok, masturbasi.. Apa yang salah pada diriku?". Tangan kanan tak mampu menjawab.

"Lalu bagaimana jika majikan tubuh ini kidal? Apa ia berhak dikatakan tidak sopan karena segala sesuatu ia lakukan dengan tangan kiri sedangkan ia terlahir kidal?......sebenarnya siapa yang menciptakan perbedaan ini? Apa maksudnya?" tangan kiri masih menggebu mengungkapkan isi hatinya

"Padahal kita selalu saling melengkapi, kala kau gatal aku garuk, kala aku terluka kau basuh lukaku dengan air, kala beban yang kau angkat terlalu berat bagimu, aku bantu, bahkan ketika tubuh ini berdoa aku ikut bersamamu memohon".

“Kau lihat para musisi? Lanjutnya.

“Bagaimana kita bisa memainkan nada yang menghipnotis jutaan pasang telinga kalau kau dan aku tidak bekerjasama, mereka hanyut dalam lantunan irama yang kita mainkan bahkan mereka bisa terinspirasi, terisak-isak dan menggila. Tapi lihat yang terjadi pada diriku? Mereka tak pernah memandangku, selalu saja tangan kiri menjadi hal yang tidak sopan, paling tidak pantas”.
Tangan kiri terdiam sejenak, tangan kanan mencoba menjawab tapi terlihat ragu untuk mengungkapkannya. Kemudian

“Kita hanya sebuah ciptaan, aku tidak pernah memilih untuk jadi tangan kanan saat diciptakan, kau pun sama, apa kau pernah memilih?”. Tangan kiri terdiam.

“Kalau aku berada diposisi mu, aku pun akan mengeluh sama sepertimu, tapi apa daya kita hanya bagian dari ciptaan.”

“Berarti kau lebih beruntung dari aku?” sambung tangan kiri melas

“Mungkin iya, mungkin tidak?”

“Kenapa?”

“Aku tidak tahu, tanyakan saja langsung kepada Sang Pencipta, aku tidak pernah tahu”.

Mereka hanyut dalam ketidaktahuan, ketidakpahaman, kebodohan dan ketidakmampuan mereka memahami apa yang terjadi dan yang akan terjadi. Mereka terlalu kerdil, bodoh, tolol untuk bisa memahami isi pikiran Sang Pencipta. Siapa yang bisa membaca pikiran-Nya. Kemudian.....

“Kau tahu paku?” tanya tangan kanan.  Tangan kiri memanggut. Dengan nada rendah ia melanjutkan.

“Apakah ia memilih untuk diciptakan sebagai paku, terpendam di kedalam yang gelap segelap-gelapnya, sempit, tak berudara, ia tak bisa apa-apa jika sudah berada di sana, tidak hanya sehari atau dua hari, puluhan bahkan beraratus-ratus tahun ia akan terpendam di sana, bahkan untuk hal yang menyengsarakan itu ia harus ditempa dengan palu sekencang-kencangnya sampai yang tersisa hanya kepala. Kau bisa bayangkan seperti apa nasibnya?”

“Tidak” jawab tangan kiri

“Kita hanya ciptaan, teman. Apapun nasib kita dan seperti apa nantinya Sang Pencipta-lah yang berkuasa atasnya.

“Teman” tangan kanan lebih merendahkan lagi suaranya

“Sang Pencipta-lah yang masih harus kita cari.... kita dan majikan tubuh ini, kita dekati terus sampai kita benar-benar dekat dan tak perlu bertanya, kemudian berserah seserah-serahnya, seserah-serahnya sampai yang paling serah. Kemudian berserah lagi dan lagi. Terus berserah, terus dan terus.......... 

Ayam jago berkokok mengantar fajar terbit di ufuk timur, lentera malam meredup dikalahkan sumber segala energi, sang matahari. Tak ada lagi percakapan, tak ada lagi keluhan. Terlihat dari balik jendela tangan kanan dan tangan kiri saling membantu membersih tubuh sang majikan.

Fikry,
Ciputat
290616






Senin, 24 Juni 2013

15 Menit



Siang hari, bel pelajaran terakhir berdering, seluruh murid terlihat gembira mengemasi perlengkapan belajarnya. Ada senyum yang tadi sempat tertahan akibat kemumetan, ada canda memancing tawa yang beberapa jam lalu dilarang oleh guru dan ada semangat yang berbeda dengan semangat ketika bel masuk berbunyi tadi pagi. Ya, apalagi pelajaran pertama itu dimulai dengan pelajaran Matematika dan Fisika. Dari balik jendela kelasku terlihat murid-murid kelas lain  keluar lebih dulu. Rawut wajah mereka menggambarkan apa yang mereka rasakan, muka kusut, senyum hambar dan biasanya sensitif. Dari tempat dimana ku berada, sepasang mata lentik melirikku dari depan, selang tiga detik merah delima warna bibirnya merekah, aku selalu terpesona saat itu terjadi, meski tanganku mengerjakan yang lain, namun mataku terfokus padanya. Fani nama panggilannya, ia baru sebulan masuk sekolah ini, namun begitu cepat ia dikenal. Bagiku, semua kriteria murid laki-laki di sekolah ini ada pada dirinya, namun isu yang terdengar, ia sedang dekat dengan ketua OSIS, sejauh itulah aku mengetahui perkembangannya. Tidak lama kemudian aku maju ke depan, murid yang lain berdiri sambil mengikuti instruksiku. Setelah berdoa dan bersalaman dengan para guru, kami pun berhamburan meninggalkan kelas bergabung dengan keramaian yang lain. 

Sekolahku berada di ujung pasar, di depannya terdapat dua kolam ikan atau biasa kami sebut balong mengapit jalan masuk ke sekolah. Dua buah papan mading menyambut siapapun yang datang, berbagai macam kreasi tertempel di sana. Mulai dari gambar, puisi, cerpen sampai curhatan-curhatan untuk seseorang yang spesial. Beberapa langkah dari sana ada dua arah yang memisah: ke kiri menuju ruang guru dan ke kanan menuju kelas-kelas. Konstruksi bangunan sekolahku berbentuk letter J, di tengahnya terdapat lapangan yang masih beralaskan tanah. Lapangan tersebut berfungsi untuk kegiatan upacara dan olah raga. Di sebelah kanannya terdapat mushola kecil yang biasa ku gunakan untuk tidur saat guru tak datang. Di depannya terdapat lapangan basket, yang biasa juga menjadi tempat hukuman bagi murid-murid yang melanggar disiplin, entah itu dijemur, push up, sit up atau berlari mengelilinginya. Di belakang mushola terdapat kantin kecil yang diurus oleh sepasang suami-isteri yang sudah lanjut usia. Di belakang kantin terdapat gudang kecil yang biasa digunakan untuk menyimpan peralatan sekolah yang rusak, ini merupakan tempat persembunyian paling aman bagi kami untuk merokok. Di samping sekolah terdapat kebun ubi, luas sepanjang mata memandang. Dan yang terakhir ingin ku beri tahu adalah, di belakang sekolahku terdapat kuburan tua, banyak yang sudah tidak terurus, banyak nisan berserakan dan berlumut, banyak kuburan yang hancur akibat pohon kamboja yang tumbuh di atasnya dan beberapa pohon besar nan tinggi dan bercabang terkesan seperti tumbuh tidak wajar. Konon banyak kisah misteri yang menjadi buah bibir warga setempat.  Tapi tenang, bukan itu yang akan aku bahas.


Setelah nongkrong sejenak bersama teman-temanku di depan kios rental PS, dengan setengah batang rokok masih menyala kami pun berpisah. Aku pergi menuju tempat pemberhentian angkot, walau banyak delman yang kosong, kali ini aku memilih untuk naik angkot. Siang itu meski terasa panas, namun sepoi udara dingin yang tertiup dari gunung Ciremai masih bisa menyejukkan suasana, dari jauh kabut masih terlihat menyelimuti, terbayang betapa sejuknya jika ku berada di atas sana. Di seberang jalan banyak kegiatan yang ku lihat: para pedagang sedang tawar-menawar, seorang ibu mengandeng anaknya berjalan, tukang parkir sibuk membantu sopir masuk dan keluar tempat parkir dan polisi sibuk mengatur lalu lintas. Tiba-tiba dari kejauhan seorang wanita berseragam putih abu-abu dengan sweeter berwarna abu-abu, menghampiri tempat di mana ku berada. 

Rambutnya hitam dan panjang ia ikat dengan ikat rambut berwarna putih, dengan tas ransel warna hitam, terlihat sudah dipenuhi buku, ia juga membawa beberapa buku di tangan kanannya, terlihat begitu repot. Wajahnya sedikit muram tapi tidak menghilangkan pesona awal yang ku lihat. Langkahnya semakin mendekat dari tempat di mana ku berada. Dan semakin ia mendekat, jantungku semakin berdetak kencang.

Sambil menunggu angkot yang kosong, aku mulai memberanikan diri mencuri gambar wajahnya. Sesekali ia sadar, ku palingkan wajahku ke arah yang lain dan seketika pandangannya mengarah ke angkot yang datang, seketika itu pula ku rampok seluruhnya; wajahnya, bajunya dan bentuk tubuhnya. Semakin lama aku melakukan itu, semakin besar harapanku agar angkot yang berhenti sudah dipenuhi penumpang. 

Kesan awal yang ia bawa, menarikku untuk mencoba memulai percakapan, meski sedikit ada kebingungan untuk memilih apa yang harus ku tanya, teringat usaha-usahaku semacam ini pernah ku lakukan. Aku sadar, aku tidak pandai dalam hal ini, beberapa kali ku coba namun tak pernah berkesan. Mereka hanya seperti kupu-kupu yang sejenak hinggap menunjukkan keindahannya kemudian pergi dan tak pernah bertemu kembali, meninggalkan kekaguman dalam hati dan sedikit penyesalan karena tak berlanjut dikemudian hari.  

Beberapa orang yang menunggu angkot bersamaku mulai berkurang, dari mulai banyak, sedikit sampai hanya tinggal kami berdua. Anehnya, ketika tinggal kami berdua, angkot yang berhenti tidak sebanyak sebelumnya. Aku semakin bersyukur karena mungkin Tuhan mengijinkanku untuk membuka percakapan dengannya. Kemudian. 

     “Pulang kemana?”. Ia tersenyum, beberapa inci dari ujung bibirnya terlihat lesung pipi yang kembar dengan pipi sebelahnya, kemudian matanya mengecil seakan enggan menjawab, ku naikkan alisku, menunggu jawabnya. Senyumnya masih ia tahan, bulu matanya naik-turun dan matanya mengarah tepat ke wajahku. 

      “Ke rumah”. Jawabnya sambil tersenyum. Lagi-lagi lesung kembar pipinya terbentuk.

     Setelah mendengar jawabannya, aku semakin tertantang untuk bertanya lagi, karena jawaban yang ia berikan belum cukup bagiku. 

      “Maksudku, rumahnya dimana?”. Ku perjelas pertanyaanku. Ia malu-malu untuk memberikan jawaban. Lalu ku paksa lagi dengan pertanyaan yang sama. Kali ini ia jawab, namun…

    “Ke arah sana”. Ia menjawab sambil menunjukkan arah. Tidak puas dengan jawaban yang ia berikan, ku respon dengan terpaksa dan sedikit kecewa.

    “Owh, ke arah sana”. Beberapa angkot berhenti, namun kelihatannya belum ada bangku yang kosong. Karena jam segini, jadwal pulangnya murid-murid dari sekolah bersamaan dengan hiruk-pikuk pasar yang akan sepi kala senja tiba. Rasa penasaranku pun tak mau berhenti, masih ada nyali untuk membuka percakapan dengannya. Kemudian aku kembali bertanya.

    “Kalau sekolahnya dimana?”. Pandangannya yang fokus ke arah kendaraan yang lewat, berbalik ke arahku. Bola matanya ke atas, seakan ia sedang memilih jawaban yang mengawang di atas kepala. Lama ia terdiam, aku pun hampir putus asa untuk mendengar jawabannya. Lalu.

   “Gak jauh dari sini”. Jawabnya. Sedikit membuatku frustasi. Ku remas daguku sambil menghirup udara dalam-dalam, berusaha menerima responnya. Kemudian aku berpikir, mungkin ia sedang tidak ingin diganggu, mungkin tugasnya yang banyak membuatnya malas meladeni siapa saja yang bertanya atau wajahku kurang mengairahkannya untuk membalas percakapan yang sedang ku coba. Tak lama kemudian ia tersenyum, namun mengarah ke depan, terkesan seperti meledek. Ku lihat ekspresinya dan merasa ada yang aneh. Aku pun kemudian memberanikan diri bertanya apa yang menyebabkan ia tersenyum sendiri.

  “Kenapa senyum sendiri?”. Tanyaku penasaran. Kemudian ia belokkan wajahnya menghadap ke wajahku, senyumnya masih merekah. Kali ini aku baru sadar, ada tahi lalat di antara kelopak mata dan alisnya. Kemudian ku naikkan sedikit pandanganku, ku lihat bulu matanya lentik seperti ombak, matanya bersinar seperti ada permata di dalamnya. Tak lama kemudian, ia palingkan wajahnya lagi sambil membawa senyumnya yang belum habis. Pertanyaan tidak terjawab.


Ku putar otakku mencari pertanyaan yang sekiranya terjawab olehnya dengan jelas. Sejak tadi aku sadar kalau ia membawa buku begitu banyak, kemungkinan ia akan mengerjakan banyak tugas di rumahnya nanti. Kemudian.


   “Lagi banyak tugas yah?”. Tanyaku asal. Ia kerutkan alisnya sambil kembali menghadap wajahku. Kali ini tidak ada senyum yang ia berikan. Aku merasa janggal dengan rawut wajahnya yang berbeda kali ini. Tidak lama kemudian, senyum itupun datang kembali, aku ikut tersenyum merasa lega, takut kalau ia tersinggung dengan pertanyaanku tadi. Tak lama kemudian angkot berhenti tepat di depan kami berdua. Beberapa penumpang turun, terlihat ada beberapa bangku kosong. Gerak-gerik kakinya seakan berat untuk naik angkot tersebut, ia terlihat ragu. Begitupun aku, rasa penasaranku padanya masih menancap, sampai ada sedikit yang ku ketahui tentangnya, aku baru rela pulang.      


  “Kok gak naik?”. Tanyaku lagi. Kini ku mulai berani sedikit mendekat. Ia berbalik dan menatapku, kali ini ia hanya merespon dengan geleng-geleng kepala walau dibarengi dengan senyuman. Sisa wangi parfume yang masih menempel di pakaiannya tercium oleh hidungku sekejap aku merasa berada di dalam istana bunga, di mana warna-warninya menghipnotisku hingga lemah tak sadarkan diri, di mana setiap wangi yang masuk menjadi obat penawar luka dan derita. Mataku terpejam menikmatinya, tapi kemudian ketika sedikit-sedikit ku membuka mata, matanya sudah menyekak mataku. Tak dapat ku sembunyikan ekspresiku darinya, aku malu. Pertanyaan tidak terjawab lagi.


Walau sedikit malu, ku pertahankan niatku untuk mengetahuinya lebih jauh. Ada hal baru yang membuatku semakin tertarik kali ini. Ia menempelkan beberapa pin di tasnya, salah satunya pin bergambar granat berbentuk hati yang sedang dikepal, lambang Green Day. Masa SMA adalah masanya Punk Rock, hampir setiap sekolah yang menggelar acara band, salah satunya pasti ada yang membawakan lagu punk. Begitupun aku, koleksi kaset punk-ku berderet di atas lemari, lima poster band-band punk favoritku tertempel di dinding, bahkan ada yang ku tempel di langit-langit. Setiap pagi setelah mandi sebelum berangkat sekolah, ku setel kencang-kencang, hanya sekedar mengumpulkan semangat sebelum pelajaran memusingkan otakku. Terutama Green Day, aku benar-benar fans beratnya. Kemudian. 


  “Suka Green Day?”. Tanyaku padanya. Ia tersenyum. Kali ini ku yakin pertanyaanku tepat untuk mencairkan kekakuan pada dirinya. Ku membayangkan, akan ada percakapan yang lebih dalam setelah ini atau pertanyaan-pertanyaanku sebelumnya ia jawab dengan jelas. Lalu membuka percakapan baru dan saling menimpal tanya-jawab. Hatiku mulai senang, senyumnya masih berlangsung, akupun tak sabar mendengar ia menjawab “iya”. Tiba-tiba senyumnya hilang begitu saja. Prediksiku pun salah seratus delapan koma sekian derajat, tak satupun kata ia ucapkan. Aku kembali bingung pertanyaan tidak terjawab lagi.


Ku hela nafas, entah mau ku bilang apa. Kecewa dalam penasaran atau penasaran dalam kekecewaan. Ku coba mengkategorikan ia ke beberapa tipe wanita yang ku pelajari dari teman-temanku, majalah dan internet. Wanita periang, jelas bukan. Wanita cool, mungkin sedikit. Wanita agressif, tak sedikitpun yang menandakan itu. Wanita penyendiri, mungkin bisa. Wanita low profile, ciri ini belum bisa ku akui karena aku belum tahu tentangnya. Wanita sombong, sepertinya tidak, sejak tadi senyumnya selalu merekah ia sedekahkan untukku. Setelah sekian kategori ku coba dan tak satupun cocok, aku pun membuat kategoriku sendiri, yaitu; wanita aneh.

Sejenak ku berpikir kembali, me-review proses awal dimana aku mulai membuka percakapan dengannya. Mungkin sikapku yang agresif membuatnya malas meladeni pertanyaan-pertanyaanku, mungkin prilakuku terkesan memaksanya untuk memulai pembicaraan dan mungkin rasa ingin tahuku terlalu menggebu-gebu sehingga mudah diprediksi. Sempatku berpikir untuk melepas keinginan untuk mengenalnya, namun wajahnya yang sudah terekam dalam hati seakan menertawai jika itu terjadi. Untuk wanita sepertinya, aku tak boleh menyerah. 


Tidak ada kata telat untuk memulai sesuatu menjadi lebih baik. Akhirnya ku putuskan memulai kembali dari awal dan lebih sopan.


   “Maaf ya, kalau tadi aku terlalu rusuh. Kalau boleh tahu nama kamu siapa?”. Tiba-tiba.


  “Nah begitu, kalau mau bertanya harus sopan?”. Jawabnya singkat. Aku tersenyum, merasa bersalah dengan sikap awalku tadi. 


   “Iya maaf”. Tambahku. Senyumnya kembali merekah, ingin sekali ku sentuh lesung pipinya dan merasakan apakah ada kehangatan di dalamnya. Tiba-tiba konsentrasiku terpecah oleh suara sang knek. “Cirebon, cirebon!”.


Dari jauh beberapa orang lari menuju angkot, kemudian satu persatu masuk ke dalamnya. Sang knek kembali berteriak “Cirebon, cirebon” sambil mondar-mandir mencari penumpang. 


   “Cirebon jang?”. Aku hanya menggelengkan kepala. Kemudian ia bertanya ke wanita itu dengan pertanyaan yang sama. Ia hanya senyum dan menggelangkan kepala. Tidak lama berselang angkot pun berangkat, begitupun kegaduhan yang dibuat oleh sang knek. Setelah suasana kembali normal, aku kembali sadar bahwa ia belum menjawab pertanyaanku tadi. 


  “Maaf, nama kamu siapa, tadi belum dijawab?”. Kembali ku ulang pertanyaan yang sama, meski dalam hati terdengar kata “sabar, sabar, sabar”. Kemudian.


     “Benar-benar mau tahu emang?”. Tanyanya innoncent


   “Iyah”. Jawabku melas. Ia palingkan wajahnya ke arah yang lain, sedangkan aku sama sekali tak mau berpaling, menunggu jawabannya. Lama ku tunggu ia mengeluarkan suara dan menyebut namanya. Detik terus berputar menjadi beberapa menit dan selama itu pula, dengan sabar dan santun ku tunggu jawabannya. Wajahnya masih menghadap ke arah yang lain. Hatiku miris, dalam hatiku berkata perlukah ku berdoa pada Tuhan, “Tuhan luluhkanlah hatinya” sambil sujud padanya di tengah keramaian ini. Ku hela nafas, kali ini rasa frustasiku lebih dominan dibanding sebelumnya. Pertanyaan tidak terjawab lagi.


# # # #


Beberapa penumpang turun, terlihat ada bangku kosong di dalam. Ku hela nafas, dengan sejumlah kesal yang sudah ia perbuat padaku tadi. Ku lihat sedikit-sedikit kakinya menaiki angkot, tangan kirinya memegang besi sebagai pegangan sedangkan tangan kanannya membawa beberapa buku, kemudian badannya membungkuk agar bisa masuk ke dalam dan beberapa saat kemudian ia duduk di bangku tengah. Angkot masih belum berangkat karena masih ada bangku kosong. Meski angkot ini melewati daerah dimana ku tinggal, namun ku putuskan untuk tidak naik. Dari luar ku pandangi wajah yang selama lima belas menit ini menjadi penarik perhatianku, menggugahku untuk melakukan suatu tindakan, berfikir untuk menemukan titik temu dan berkhayal dalam kesan awal yang masih kosong. Tiba-tiba dua orang penumpang naik dan memenuhi bangku di dalam. Sang knek memberi isyarat pada sopir bahwa sudah penuh dan saat itu pula wajahnya menatap padaku. Roda angkot mulai berputar, seketika senyum terakhirnya ia berikan padaku hanya tinggal sisa, tak bisa ku jaga keutuhannya dalam memoriku. Seminggu atau dua minggu senyum itupun akan terlupakan. 


Ia seperti kupu-kupu, sejenak hinggap menunjukkan keindahannya kemudian pergi dan tak pernah bertemu kembali, meninggalkan kekaguman dalam hati dan sedikit penyesalan karena tak berlanjut dikemudian hari


Dalam hati ku ucapkan “Selamat jalan wanita aneh”.

Fikry,
Kupang, 14 Juni 2013