Pengangkatan Malaikat Maut
Mayat-mayat
bergelimpangan tak jelas berbentuk. Burung bangkai datang dan pergi menyantap
setiap bagian tubuh yang sudah tak bernyawa, seperti ada pesta yang menyajikan berbagai
hidangan, daging empuk, hangat disertai minuman darah segar merah dan kental.
Bau bangkai, bau anyir menyelimuti udara Godemar. Tak terdengar lagi jerit
tangis kesakitan, tak terdengar lagi rintihan mohon ampun, suara-suara itu
sudah meninggalkan tubuh berikut nyawa yang selama ini bersama.
Meski terseok-seok,
Laksmiwati tetap melangkah. Rambutnya yang panjang, lusuh oleh cipratan darah,
ada yang sudah mengering dan ada yang masih basah begitupun pakaiannya. Luka
tusuk dan sayatan pedang ditubuhnya tak melemahkan niatnya, ia terus melangkah.
Wajah datar, pandangan kosong seakan tak menghiraukan suasana disekitarnya. Dua
pedang yang ia pegang dikedua tangannya ia lepas satu, menandakan orang
terakhir yang akan ia lawan bukan orang biasa. Ia sadar tenaga sudah terkuras
habis, kelincahan sudah berkurang dan konsentrasi membuyar. Sedikit-sedikit
matanya terpejam menahan sakit yang mengoyak tubuhnya. Ia terus melangkah.
Ia tapaki satu
persatu anak tangga menuju singgasana kebesaran Raja Godemar, meski terdapat
ratusan anak tangga yang harus ia lewati, ia terus melangkah menuju dendam
terbesarnya.
Dari kejauhan orang
yang paling ia cari, orang yang selalu menjadi mimpi buruknya terlihat. Ia
tarik nafas sedalam-dalamnya seakan mengumpulkan segala kekuatan, segala
dendam, segala amarah, segala jeritan yang ia alami selama ini. Matanya
mengecil terfokus seakan butuh kepastian bahwa orang itu adalah Jakunti, raja
Godemar. Semakin lama, semakin dekat dan cukup baginya untuk melampiaskan
dendam yang sudah mendarah daging. Kemudian.
“Jadi kaulah
orangnya”. Jakunti geleng-geleng kepala, merasa salut. Ia tak pernah percaya
bahwa orang yang mengobrak-abrik kekuasannya, orang yang membinasakan semua
penduduknya, prajuritnya, ksatrianya dan semua generasi bangsanya hanya seorang
wanita. Ternyata kabar burung yang selama ini ia dengar benar adanya.
Laksmiwati diam tak merespon perkataan Jakunti, pandangannya terfokus pada
Jakunti, kemudian ia kencangkan cengkeraman tangannya pada gagang pedang, ia
ubah posisi siap menyerang. Tak lama kemudian, Jakunti meraih palu raksasa dari
punggungnya kemudian mengambil posisi sama. Mereka berdua siap saling serang.
Pertarungan pun
dimulai, denting pedang yang beradu dengan palu bergema, sedikit-sedikit percikan
api keluar. Masing-masing saling mempertahankan posisi menyerang, tak ada yang
mundur, tak ada yang berpaling. Ayuhan palu Jakunti sesekali meleset dan
meremukkan tiang istana disekitar tempat mereka bertarung, sedangkan sisa
kelincahan Laksmiwati masih bisa menghindar setiap serangan yang diberikan
Jakunti, begitupun sebaliknya, meski berbadan besar Jakunti sanggup meladeni
setiap serangan yang diberikan Laksmiwati.
Namun apa daya bagi
Laksmiwati, sisa kekuatannya berkurang, perih yang muncul dari luka di tubuhnya
kini mengurangi gerak dan konsentrasinya. Tiba-tiba hantaman palu Jakunti
menghantam tubuhnya, ia terpental membentur tembok hingga retak, tubuhnya
terkapar. Tak terdengar teriak kesakitan, bahkan rintihan pun sama sekali tak
terdengar. Lakmiwati terlalu dingin untuk menunjukkan kelemahannya. Sambil
menahan sakit ia paksakan untuk bangkit. Jakunti berjalan tenang menghampiri
Laksmiwati, ia sama sekali tidak terlihat lelah ataupun kewalahan. Dengan
segenap sisa kekuatan Laksmiwati bangkit sebelum Jakunti mendekat. Ia bersiap
lagi menerima serangan yang akan diberikan Jakunti.
Palu Jakunti kembali
terayun, ia serang Laksmiwati secara bertubi-tubi tanpa ampun. Laksmiwati
terus mempertahankan posisinya, darah pun mengucur deras dari luka di tubuhnya,
luka yang ia dapat dari serangan-serangan ksatria sebelum ia membantai mereka
semua. Melihat kondisi tersebut Jakunti semakin membabi buta menyerang
Lasmiwati, ia yakin bahwa kekuatan pada diri Laksmiwati telah hilang, kekuatan
sihir yang terkenal dimiliki bangsa Karuyum telah hilang pada dirinya,
bersamaan dengan pembantaian seluruh penduduk Karuyum. Mereka semua sudah
binasa kecuali satu.
Kembali, Laksmiwati terhantam deraan Jakunti. Tubuhnya
terpental lebih jauh, meski tak membentur apapun, namun cukup untuk meremukkan
tubuhnya. Darahpun mengalir dari kepala Laksmiwati, tubuhnya terkapar tak
bergerak sama sekali. Dari kejauhan Jakunti terlihat puas melihat keadaan
Laksmiwati yang sudah tak bergerak.
“Ha, ha, ha.....” Jakunti tertawa puas. Ia berjalan
mendekati tubuh yang sudah tak berdaya itu.
Tiba-tiba terdengar bisikan yang mengema di telinga
Laksmiwati. Sebuah suara yang sudah lama ia lupakan, suara yang dahulu pernah
dekat, pernah menemani hari-hari dan mimpinya.
“Bolehkah aku menamai
bunga ini?”.
“Ya, tentu”.
“Ku namai Bunga
Aruna”.
Jakunti terus mendekat, ia genggam erat gagang palu. Kali
ini ia akan menghantam kepala Laksmiwati sampai hancur, sampai isi otaknya
keluar, bola matanya menggelinding di lantai, dan cipratan darah membasahi
wajahnya. Kemudian bisikan itu terdengar lagi.
“Bolehkah aku menamai
bunga ini?”.
“Ya, tentu”.
“Ku namai Bunga
Aruna”.
Antara hidup dan mati, tubuh Laksmiwati tak bergerak
sedikitpun. Jiwanya terombang-ambing pada dimensi yang berbeda. Ia tidak hidup
dan tidak juga mati. Kemudian terlihat, Jakunti sudah sangat dekat, ia angkat
palunya setinggi mungkin, kali ini ia tidak akan meleset. Target utama sudah
terkapar tak berdaya, tak mungkin menghindar apalagi melawan balik.
“Bolehkah aku menamai
bunga ini?”.
“Ya, tentu”.
“Ku namai Bunga
Aruna”.
“Bolehkah aku menamai
bunga ini?”.
“Ya, tentu”.
“Ku namai Bunga
Aruna”.
“Bolehkah aku menamai
bunga ini?”.
“Ya, tentu”.
“Ku namai Bunga
Aruna”.
Terus berulang-ulang.
Suara samar itu semakin lama semakin nyata dan semakin santer terdengar,
gemanya sampai terasa merusak pendengarannya. Ia pun tersadar. Matanya
berkedip, tubuhnya mulai bergerak. Entah kekuatan apa yang ia dapat setelah
mendengar bisikan tersebut. Tapi, sayang dihadapannya Jakunti sudah
mengangkat palu dengan kedua tangannya, hanya menunggu waktu, menerima hantaman
benda keras dengan kepala yang baru sadar. Tiba-tiba, Laksmiwati bangun.
Jakunti kaget matanya membelalak tak percaya, ia tidak mengira bahwa Laksmiwati
bisa bangkit. Ayuhan palunya tinggal beberapa inci lagi mengenai kepala
Lakmiwati. Kemudian, hanya sedikit menggerakkan tubuhnya ke samping, Laksmiwati
terhindar dari hantaman palu tersebut. Jakunti yang tidak mempersiapkan akan
ada serang balik pun kehilangan akal. Laksmiwati melihat ada sedikit
kesempatan, ini mungkin menjadi kesempatan terbaik dan terakhir yang ia miliki
untuk melumpuhkan Jakunti. Jika ia tidak memanfaatkan dengan baik, ia pasti
yang akan mati. Karena tidak sedikitpun pedang yang ia gunakan melukai bahkan
melumpuhkan Jakunti.
Laksmiwati
memanfaatkan kuda-kuda Jakunti untuk meloncat, kemudian pandangan Jakunti
mengikuti pergerakkan Laksmiwati yang seolah-olah terbang, ia lihat mata pedang
Laksmiwati mengarah ke bawah siap menusuk kepalanya. Belum sempat Jakunti
mengelak, pedang itu sudah menghunus kepalanya menembus sampai kerongkongan.
Seketika darah pun muncrat seperti tabung air yang bocor, tubuhnya lunglai tak
terkontrol. Jiwanya tak lagi bisa mengatur tubuhnya untuk berbuat apapun.
Laksmiwati masih terus menekan pedangnya, ia ingin menusuk sedalam-dalamnya,
sekuat-kuatnya karena manusia seperti Jakunti tidak bisa mati dengan cara
biasa. Kemudian tubuh besar bagai raksasa itupun jatuh terkapar, Laksmiwati
sudah melompat lebih dulu. Dengan terseok-seok, Laksmiwati menghampiri tubuh
Jakunti, ia cabut kembali pedang yang menancap di kepala Jakunti, tak lama
kemudian ia tebas kepala Jakunti hingga terpisah dari tubuhnya. Sambil teriak
puas, ia lempar kepala itu sampai keluar istana melewati tangga-tangga yang
tadi ia lewati, menyatu bersama bangkai-bangkai tubuh bangsa Godemar lainnya.
Habis sudah dendam
yang paling membara, dendam yang selalu menjadi mimpi buruk, dendam yang paling
banyak memakan nyawa. Laksmiwati jatuh, dengan posisi setengah sujud, ia bayar
janjinya. Janji yang sudah lama ia buat, janji yang pernah terucap ketika
kematian hampir menjemputnya.
“Dendamku tuntas, aku
siap mati”. Tiba-tiba.
Langit berubah
menjadi hitam pekat, gemuruh menggelegar di sana-sini, riuh angin menyapu
segala benda, ratusan kilat menyambar apa pun yang tinggi menjulang ke langit,
tanah berguncang kuat menghancurkan setiap bangunan begitupun istana di mana
Laksmiwati berada. Atap bangunan mulai runtuh, tiang-tiang penyangga mulai
retak dan seketika istana itu pun roboh menimpa apa pun yang ada didalamnya.
Laksmiwati tak berdaya, ia ikut terpendam bersama puing-puing bangunan. Rasa
sakit terasa semakin parah, organ-organ tubuh tak lagi merespon kehendak hati,
yang tersisa hanya nafas yang tersendat-sendat, ia tak sadarkan diri.
Dalam kegelapan dan
kesunyian, jiwanya melayang terombang-ambing seperti kapas tertiup angin.
Sebuah keadaan yang pernah ia rasakan sebelumnya, namun sedikit-sedikit berubah
menjadi suasana yang sangat mencekam, tak ada hal yang semencekam seperti yang
ia rasakan saat ini. Hawa panas terasa membakar tubuh dan organ-organ di dalam
tubuh Laksmiwati, kemudian tercium aroma busuk bangkai menyengat indera
penciumannya dan memenuhi setiap ruang, dibawa bersamaan dengan datangnya
sesosok tubuh berjubah serba hitam. Ya, malaikat maut itu datang menagih janji,
yang pernah diucap oleh Laksmiwati. Kemudian malaikat maut menghampiri
Laksmiwati.
“Sungguh mengesankan,
wanita nan ayu, lembut bagai embun, halus seperti semilir angin pagi berubah
menjadi sesosok yang menakutkan”. Malaikat maut berbicara sambil mengelilingi
tubuh Laksmiwati yang sudah tak berdaya. Laksmiwati tegang, berkata pun ia tak
sanggup. Ada hal yang berubah pada sosok malaikat maut yang pernah menemuinya
sebelum ini, pertanyaan itu pun mengawang dibenaknya. Kemudian.
“Kenapa, kau bingung
dengan penampilanku saat ini?”. Malaikat maut sambil menunjukkan penampilannya.
“Ya, aku bisa seperti
ini”. Malaikat maut berubah menjadi sosok yang menyenangkan hati untuk dilihat,
aroma wewangian memenuhi setiap sudut di mana ia berada dan suasana terasa
sejuk dan tenang, diiringi lantuan musik yang menghipnotis siapapun yang mendengar.
Dampaknya, kepasrahan tertinggi bagi siapapun yang akan ia cabut
nyawanya. Ya, hal ini pernah dirasakan Laksmiwati ketika pertama kali ia
bertemu dengan malaikat maut. Tiba-tiba, ia rubah lagi bentuknya seperti
semula. Tak enak dilihat, tak ada wewangian melainkan bau busuk menyengat
penciuman, hawa terasa panas membakar tubuh dan isinya, suara histeris
mencekam, menggema, detak jantung berdetak kencang, yang ada hanya ketakutan
yang sangat dahsyat.
“Kau tahu?” lanjut
malaikat maut. Laksmiwati terlihat sangat gelisah dan ketakutan bukan kepayang.
Ekspresi itu hanya terlihat dari gelak matanya yang tegang.
“Sebagian pekerjaanku
kau rampas, bahkan kau mencabut nyawa yang belum saatnya ku cabut, para
malaikat di langit memprotes tindakanmu, tapi aku harus menepati janji yang
sudah kita buat. Malaikat juga harus menepati janjinya, bukan?”.
“Dan satu hal lagi”.
Lanjutnya.
“Tindakanmu
menyebabkan banyak perdebatan di langit. Para malaikat mempertanyakan hukuman
apa yang layak untukmu, karena.... “. Malaikat maut terdiam sejenak.
“......lihat kau
menyebabkan banyak kerusakan, banyak kematian dan hal lain yang akan menjadi
sejarah terburuk bagi kehidupan mendatang”.
Tak lama berselang,
muncul cahaya dari atas yang menembus langit. Cahaya itu turun tak jauh dari
tempat di mana mereka berdua berada. Laksmiwati sama sekali tidak tahu siapa lagi
yang datang, kemudian dari cahaya tersebut muncul sesosok tubuh, berjubah serba
putih dengan sayap di punggungnya. Aroma busuk yang dibawa malaikat maut,
sesaat hilang. Kali ini yang tercium aroma yang sangat wangi, aroma yang belum
pernah tercium sebelumnya. Rambutnya putih bermahkota kristal dengan binar
cahaya di atasnya, tubuhnya lebih besar dari malaikat maut. Ia membawa jubah
hitam, entah apa maksud kedatangannya dan jubah tersebut. Laksmiwati tidak
mampu menerka. Ia sudah pasrah tak berdaya menerima apa yang akan terjadi.
Kemudian, malaikat maut menunduk menyambut kedatangan sosok tersebut.
Tiba-tiba.
“Kau pikir mati akan
menyelesaikan apa yang telah kau perbuat”. Ucap sosok berjubah putih itu. Mata
Laksmiwati membelalak, ia tak pernah setegang itu. Sedangkan tubuhnya sama
sekali tak bisa ia gerakkan begitupun mulutnya tak bisa bersuara. Ia tidak tahu
apa yang akan ia terima. Kemudian sosok berjubah putih membuka tabir ingatan
masa lalu Laksmiwati, apa yang terjadi sebelum dan sesudah ia mengejar
dendamnya. Ia lihat api berkobar membakar rumah-rumah, ia lihat
prajurit-prajurit Godemar datang dan mengancurkan apapun yang mereka temukan,
ia dengar jeritan tangis dan rintihan mohon ampun, ia lihat mengapa orang
Godemar menjadi brutal dan bengis, ia lihat kedamaian di tempat ia tinggal,
Karuyum. Ia pun melihat orang-orang yang ia sayang mati dan ia juga lihat
bagaimana perdebatan para malaikat mengecam apa yang ia perbuat. Kemudian.
“Laksmiwati, kau
tidak akan mati”. Bisik sosok berjubah putih langsung ke telinganya. Air mata
Laksmiwati mulai menetes, ia membayangkan hal paling buruk akan ia rasakan
sebagai hukuman atas tindakannya. Sosok berjubah putih itu hanya tersenyum
melihat perubahan pada diri Laksmiwati. Tiba-tiba terdengar sebuah mantra
keluar dari mulut sosok berjubah putih, mantra yang belum pernah ia dengar
sebelumnya. Tiba-tiba.
Dari tangan sosok
berjubah putih keluar cahaya putih, tubuh Laksmiwati diselimuti cahaya
tersebut, ia melayang terangkat olehnya, kemudian satu-persatu pakaiannya
dilucuti oleh cahaya tersebut hingga tak sehelaipun tersisa. Tiba-tiba, jubah
yang dibawa sosok berjubah putih terbuka dan melayang menghampiri Laksmiwati. Tubuhnya
semakin terangkat tinggi dan jubah tersebut memakai dirinya sendiri ke tubuh
Laksmiwati. Seketika jubah itu terpasang, ia merasakan sebuah energi yang
sangat besar masuk ke dalam tubuhnya, luka sayatan dan tusukan pada tubuhnya
hilang seketika, begitupun tulang-tulang yang remuk akibat hantaman benda
keras, sembuh dengan sendirinya. Seketika itu pula tubuh Laksmiwati jatuh,
namun ia jatuh berdiri. Ia tidak lemah lagi.
Melihat perubahan
yang terjadi pada Laksmiwati, sosok berjubah putih membacakan kembali
mantra-mantranya, tiba-tiba Laksmiwati kembali terangkat mengawang, kali ini
kulit tubuhnya menjadi putih dan halus tak seperti sebelumnya, matanya menjadi
bening sebening air hujan, terpancar sebuah sinar dari wajah yang menyejukkan
setiap mata yang memandang, muncul juga sayap di sebelah kanan dan kirinya,
terasa halus seperti kain sutera dan setiap kali sayap itu ia kepakkan udara
terasa sejuk dan adem, kemudian aroma wewangian pun tercium. Tak lama perubahan
itu terjadi Laksmiwati turun, wajahnya terlihat berseri dan senyumnya terasa
sangat manis. Kemudian.
Sosok berjubah putih
membacakan kembali manteranya. Kali ini, kulit putih yang dimiliki Laksmiwati
berubah menjadi hitam dan kasar sedikit bersisik, begitupun matanya berubah
menjadi merah. Ia teriak sekeras mungkin, ia rasakan kekuatan masuk ke setiap
bagian tubuhnya lagi. Ia menjerit sekeras-kerasnya kesakitan. Lalu sayap putih
yang ia miliki berubah menjadi hitam, keluar merobek kulit dan dagingnya, ia
menjerit lagi. Kemudian dari belakang muncul buntut panjang sepanjang tubuhnya,
di ujungnya terdapat mata panah yang sangat runcing dan tajam, ia semakin
menjerit menahan rasa sakit, tak lama kemudian bau anyir dan busuk pun tercium.
Sampai perubahan pada dirinya sempurna, ia langsung jatuh ke tanah. Laksmiwati
merintih sangat kesakitan, tubuhnya terkapar di tanah. Kali ini ia merasakan
kembali rasa sakit yang sangat pedih. Ia merasa ada dua bentuk yang menyatu
pada dirinya. Kemudian.
Laksmiwati bangkit,
meski berat dan sakit. Lalu ia memperhatikan setiap perubahan pada tubuhnya, ia
lihat satu persatu. Ia pegang buntut di belakangnya, ia pegang sayap di
punggungnya, ia sentuh kulitnya. Dan ia rasakan ada pusara kekuatan besar
terdapat di tubuhnya. Sampai itu semua terjadi Laksmiwati tak tahu apa yang
sedang direncanakan oleh sosok berjubah putih. Namun, seketika ia menoleh ke
arah malaikat maut yang berada disamping sosok berjubah putih. Ia kaget sekaget
kagetnya, ia lihat ada kemiripan pada dirinya yang ia alami dengan malaikat
maut. Jubahnya, warna kulitnya, sayapnya dan perubahan yang pernah malaikat
maut tunjukkan sebelumnya. Setelah melihat kemiripan tersebut Lakmiwati
tersadar, lalu ia tatap wajah malaikat maut, seketika itu pula malaikat maut
tersenyum padanya dan tiba-tiba malaikat maut berubah menjadi burung gagak, ia
terbang meninggalkan Laksmiwati dan sosok berjubah putih. Dari kepakkan
sayapnya terlepas sehelai bulu sayap, terayun melayang jatuh ke tanah. Kemudian
diambil oleh sosok berjubah putih. Laksmiwati menyadari apa yang sedang
terjadi, kemudian ia teriak sekencang-kencangnya.
“Tidakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk!”.
Ia tersungkur tak berdaya, ia tak menyangka akan seperti ini hasil dari
perbuatannya. Kemudian.
“Kau ku kutuk menjadi
malaikat maut, tidak ada lagi malaikat maut melainkan dirimu saat ini”.
“Tidak.....!”.
“Biarkan aku mati,
sebagai tebusan dari dosa-dosa yang telah ku lakukan. Aku ingin menyusul
orang-orang yang ku sayangi, bersatu bersama mereka, berkumpul dengan para
nenek moyang bangsaku terdahulu”. Laksmiwati memohon. Sosok berjubah putih
hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian.
“Kau pikir seenak
itu, setelah apa yang telah kau perbuat, kau bisa leluasa bertemu dengan mereka
yang sudah mati, Tidak!!”. Laksmiwati terdiam. Kemudian.
“Mengapa kau merubah
diriku menjadi dua sosok yang sangat berbeda?” tanya Laksmiwati.
“Dengar, jika nyawa
yang kau cabut adalah orang baik, maka kau akan menjemputnya seperti bidadari
menjemput kekasihnya. Ia akan terbuai melihatmu dan ingin berlama-lama
merasakan kehadiranmu. Tapi sebaliknya, jika nyawa yang kau cabut adalah orang
jahat, kau akan berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan seperti tadi. Kau
pun akan merasakan pedih dari apa yang pernah orang itu perbuat, sehingga kau akan
cepat-cepat mencabut nyawa orang tersebut”. Jelas sosok berjubah putih.
“Lalu, sampai kapan
kutukan ini akan aku jalani?”.
“Kutukan ini akan
terus kau alami, sampai kenangan terindah yang kau lupakan demi dendammu, kau
ingat kembali”.
“Apa itu? hanya kau
yang tahu”. Jelas sosok berjubah putih. Sejenak Laksmiwati berfikir kenangan
apa yang akan menghilangkan kutukan tersebut. Kemudian.
“Kau tahu?, malaikat
maut tidak boleh memiliki kenangan, karena masa lalu akan membuatmu iba,
membuatmu takut, membuatmu terbatas dan yang paling penting, akan menggangu
pekerjaanmu”. Tegas sosok berjubah putih. Laksmiwati bingung, apa maksud dari
perkataan tersebut. Tiba-tiba.
Sosok berjubah putih
memegang kepala Laksmiwati, seketika itu pula ia menghapus seluruh ingatan
Laksmiwati. Tubuh Laksmiwati terkejang-kejang mengalami hal dahsyat tersebut,
matanya melotot seakan ingatan-ingatan masa lalunya tak ingin keluar dari
benaknya, saling tarik menarik. Tergambar lagi kejadian masa lalu yang pernah
ia alami, dari proses ia diciptakan, dari kata pertama yang ia ucapkan, dari
cinta pertama yang ia rasakan, ciuman dan pelukan, dari setiap angan dan
mimpinya begitu pula dendamnya. Wajah-wajah yang pernah bersamanya, kejadian
yang membahagiakan dan kejadian yang menyakitkan. Apa yang ia ingat, seketika
itu pula terhapus. Ia tak mengenali wajah ibunya, tak tahu dari mana ia berasal
bahkan ia tak tahu namanya sendiri, apalagi ingatan kecil yang bisa mengangkat
kutukannya tersebut. Tak lama kemudian setelah proses itu terjadi, Laksmiwati
berubah drastis. Gerak tubuhnya, nada suaranya dan segala hal tentangnya hilang
seketika. Kemudian.
“Siapa kau?” tanya
malaikat maut.
“Aku adalah Raja Para
Malaikat, kau akan tunduk padaku dan patuh padaku”. Seketika itu pula malaikat
maut menunduk, tanda ia akan tunduk dan patuh kepadanya. Kemudian bulu burung
gagak yang tertinggal tadi, diselipkan di sela-sela telinga dan kepala malaikat
maut oleh Raja Para Malaikat. Seketika itu pula malaikat maut tak lagi menapak
ke bumi, ia melayang tanda perubahan menjadi malaikat maut telah sempurna.
Setelah proses itu
selesai, lengkaplah sudah. Laksmiwati bukan siapa-siapa lagi melainkan malaikat
maut yang akan bergentayangan ke setiap penjuru bumi, mencabut nyawa-nyawa yang
sudah waktunya ia cabut.
Sosok berjubah putih
yang tidak lain adalah Raja Para Malaikat kembali berubah menjadi cahaya, dan
tidak lama berselang cahaya itu kembali naik ke langit dan menghilang. Sang
malaikat maut, mengepakkan kedua sayapnya ia bersiap melaksanakan
tugas-tugasnya.
Bersambung... (on
progress)
Bagian II
Kembang Tenggelam di
Lokapuja